Cemetery Drive
Hujan turun dengan
derasnya, menghembuskan hawa yang begitu dingin, menusuk hingga ke
dalam sumsum tulang. Langit siang ini begitu gelap, seolah bisa mengerti
dukaku, seolah ikut bersedih bersamaku. Di depanku berkumpul
orang-orang, mereka juga turut bersedih, tapi tak ada yang lukanya
sedalam lukaku. Kulihat ia diturunkan pelan-pelan, aman terlindungi di
dalam peti kayu murahan. Hanya itu yang bisa kuberikan kepadanya. Aku
tak mampu memberikannya yang terbaik, bahkan di saat-saat terakhir
kehidupannya.
Oh tidak, air mataku mengalir lagi. Aku tak mampu menahannya. Kulihat
semuanya memperhatikan, di wajah mereka tidak ada kemakluman. Aku
melihat kilasan kemarahan dan kekecewaan di mata mereka. Mereka pasti
berpikir aku yang bersalah.Tapi aku tak perduli. Aku berhak untuk
bersedih. Kini air mataku berlomba dengan derasnya hujan.
Dan pikiranku pun melayang jauh...
****
“PRANG!!!”
Mike menunduk, melindungi kepalanya dengan kedua tangannya yang
dihiasi tato bergambar naga besar merah yang menjulur panjang di seluruh
tangannya. Dia terlihat khawatir dan sedikit takut bahwa aku
mempertimbangkan dengan sangat serius untuk melempari piring langsung ke
arahnya.
Well, setidaknya dia benar. Aku serius mempertimbangkan itu. Tapi aku
tak ingin ditangkap polisi dan dikenai hukuman karena membunuh
seseorang, tidak sekarang.
“Lizzy...Sudah kukatakan, kau hanya salah paham!!”, katanya mencoba
membela diri, setelah selama semenit aku hanya diam menatapnya dengan
tatapan yang mampu membakar sesuatu.
Aku meraih piring lagi, biru kali ini, lalu kulemparkan lagi ke arah
dinding dengan membabi buta, ingin mengenyahkan rasa marah dan cemburu
yang bercokol di dada. “Salah paham katamu?! Salah paham?! Bagian
mananya dari masalah ini yang kaubilang salah paham?!”
Mike mengernyit lalu menjelaskan lagi, dengan suara yang tak kalah
kerasnya, “Coba kamu pikir dengan akal sehat, Lizzy. Kalau memang aku
punya affair dengan Hannah, aku akan berbohong. Aku akan bilang aku
tertidur di apartemen Todd atau apa, ya gak? Mestinya kamu menghargai
kejujuranku.”
“Kamu tidur di apartemen Hannah!” Aku mengulangi apa yang ia
beritahukan sebelum aku mulai melemparinya dengan barang pecah belah.
“Aku tertidur di apartemen Hannah!”, katanya defensif, mengulangi setiap kata dengan penuh tekanan.
“Aku tidak mengerti ada urusan apa diantara kalian, sehingga kamu tertidur di apartemennya!”
“Dengar, kami mengobrol, aku terlalu kelelahan, dan tertidur di sofa, itu saja. Lagipula, ada Todd juga disana!”
Aku terdiam sebelum akhirnya aku bertanya dengan suara pelan, “Tapi Todd tidak tertidur disana juga kan?”
Mike pun ikut terdiam, wajahnya pias. Dia kalah.
Sudah kuduga, dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tadinya ada harapan
dalam pertanyaan terakhirku. Aku ingin ia menjawab iya. Bohong pun tak
apa. Aku hanya sedang tak ingin Mike berkata jujur kepadaku. Karena aku
tak akan mampu menahan rasa sakit ini. Dan tidak, aku sudah tak ingin
melihatnya, aku tak ingin bertengkar lagi. Aku lelah.
“Kau tahu, aku tak boleh marah seperti ini. Tak baik untuk
kandunganku.”, kataku pelan sambil menahan tangis. Karena toh ini akan
berakhir, sudah sepantasnya aku menjatuhkan bom ini. Aku mengusap mataku
dengan cepat.
Mike tersentak kaget. Sesungguhnya aku benci harus memberitahunya
dengan cara seperti ini. Aku sudah menghabiskan waktu nyaris sebulan
bagaimana caranya memberitahunya, karena aku tak yakin dengan reaksinya.
Aku hanya ingin dia bahagia.
“Kan, kandungan? Ma, ma, maksudmu...Hamil? Anak kita? Anak kita,
Lizzy?”, suaranya terbata-bata, tapi sebentuk senyuman terukir di
wajahnya. Membuatku langsung merasakan sengatan emosi negatif yang harus
segera kulampiaskan.
Aku meraih sebuah mug, lalu kembali melemparnya ke dinding. Namun
Mike kini bergeming, tak bergerak sedikit pun. Dia tampaknya sudah tak
peduli aku akan melemparnya tepat ke wajahnya.
“...Lizzy, aku mencintaimu.”, bisiknya pelan, senyum mengembang lebar di wajahnya.
Tidak! Aku tak akan terpengaruh dengan kata-katanya!
“Keluar.”
“Hannah hanya sebuah masa lalu, dan dia sahabatku. Aku mencintaimu, Lizzy. Dan bayi kecil kita.”
“KELUAR!!!!!!!!!!!!!!!!”, jeritku keras.
Mike akhirnya menghembuskan nafas panjang lalu menyerah. Dia berjalan
menuju pintu, mencoba menghindari pecahan-pecahan di lantai. Sebelum ia
keluar, dia berbalik ke arahku dan berkata pelan, “Kau butuh waktu
untuk sendiri. Aku tak akan menyerah secepat ini. Tidak. Demi kita, demi
bayi kita. Karena aku mencintaimu, sangat mencintaimu.”
****
Itulah kalimat terakhir yang ia ucapkan. Itulah kali terakhir aku
melihatnya. Mike meninggal lima jam sesudahnya, dalam sebuah kecelakaan
beruntun yang parah. Mobilnya ditabrak dari belakang, dan dia tidak
mengenakan sabuk pengaman saat itu. Tubuhnya melayang keluar, sebelum
akhirnya ditabrak mobil. Setidaknya ia meninggal dengan seketika, itu
yang dikatakan oleh petugas forensik kepadaku saat polisi memintaku
mengenali mayatnya.
Aku merasakan asam di lambungku naik menuju ke tenggorokan, aku
segera berlari dan memuntahkan semuanya. Hanya air kental berwarna
kuning. Aku nyaris tidak makan apapun sejak dua minggu lalu. Aku tak
ingin makan. Aku hanya ingin Mike kembali.
Oh ya, mayat Mike. Aku masih bisa mengingat kondisinya dengan jelas.
Lehernya patah, kaki kirinya hancur remuk terlindas salah satu ban
truk... Kepalanya bocor dengan wajah yang nyaris tidak bisa kukenali
lagi....
Ini semua salahku. Andai aku tak mengusirnya pergi, Mike mungkin
masih hidup hingga detik ini. Andai aku tak menyuruhnya pergi, Mike
mungkin masih ada disini. Memelukku erat tiap malam. Membicarakan masa
depan kami, masa depan bayi kami sembari meminum sebotol bir.
Oh tidak, bayi kami!
Tanah yang kupijak serasa berputar dengan kencang. Aku harus mencari
pijakan yang lebih baik sampai aku merasakan tangan seseorang
mencengkram bahuku.
“Lizzy, kau harus makan sesuatu!! Kau kelihatan begitu kurus dan
pucat!”, katanya. Oh, ternyata Todd. Aku hanya menatapnya bingung,
seolah-olah dia berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti.
Dan memang sesungguhnya aku tak mengerti.
“Todd, kita ke family restaurant sekarang. Aku rasa aku butuh makan
siang. Dan Lizzy juga.”, sebuah suara yang halus dan menyenangkan
menyela Todd. Walau aku tak mengerti apa yang dikatakannya, tapi aku
mengenal suaranya.
Aku membenci suara itu. Hannah.
Hannah kemudian menggamit lenganku dan berjalan bersamaku dengan
perlahan-lahan, seolah dia mengimbangi kemampuannya berjalannya yang
normal dengan seorang tua renta.
“Mau apa kau?”, tanyaku penuh kebencian, suaraku bergetar.
“Mike akan menangis di dalam petinya kalau melihatmu sekarang ini, Lizzy. Kau butuh makan.”
Aku melepaskan lenganku darinya lalu memeluk tubuhku sendiri, “Aku
tidak butuh kau memberitahuku soal apa yang harus kulakukan, Hannah.”
“Lizzy, lihatlah dirimu. Kau seperti zombie!”
Aku sudah tak tahan lagi. Aku kehilangan Mike, dan yang perempuan ini katakan adalah aku terlihat seperti zombie?!
“Kalau bukan karenamu, kami tak akan bertengkar!”, teriakku marah,
menumpahkan semua rasa putus asa yang membuncah. Aku yang kehilangan
Mike! Mike tidak akan pernah kembali! “ Kalau bukan karenamu, Mike tidak
akan ada di dalam peti, dikubur, sendirian!”
Semua orang segera saja berkerumun memperhatikan kami. Tertarik
menyaksikan gosip terbaru secara langsung. Dan Hannah, berdiri disana
dengan wajah pucat pasi, seolah aku baru saja menamparnya.
“Apa maksudnya ini? Kalian bertengkar karena aku?”
“Ya, kalian punya affair kan?”
“Mike bilang begitu padamu?”
Aku terdiam, “Dia tidak mengakuinya secara langsung.”
Hannah menarik nafas panjang lalu berkata pelan, “Malam itu, Mike
datang menyusul ke bar, karena dia ditelepon oleh bartender bahwa aku
mabuk. Todd tidak bisa datang karena sedang bekerja. Mike menjemputku,
membawaku pulang ke apartemen. Disana, aku muntah dan pingsan dalam
kubangan muntahku sendiri. Aku tidak bangga terhadap itu, oke? Mike
memandikanku kemudian menaruhku di tempat tidur. Dia sudah seperti kakak
bagiku. Kami memang pacaran dulu, tapi dia sangat mencintaimu, Lizzy!”
Suaranya bergetar hebat, “Dan aku masih mencintainya, gila rasanya
melihat dia mencintaimu seperti itu, karena denganku, dia tidak
merasakan hal seperti itu.”
Sakit rasanya aku melihat Hannah, seorang wanita tangguh dengan
rambutnya yang cepak itu menangis tersedu-sedu seperti itu. Hannah yang
kukenal selalu riang gembira, walau agak sedikit sinis terhadapku, tapi
dia selalu bisa membuat Mike tertawa. Hannah dan Todd bersahabat dengan
Mike sejak SMA. Dan aku tak nyaman dengan kegiatan rutin mereka bertiga
setiap Rabu malam, minum-minum di bar sampai mabuk. Sebuah segitiga yang
tak mungkin bisa kumasuki sampai kapanpun. Membuatku merasa tidak
dianggap oleh Mike. Dan bukan hanya aku yang kehilangan Mike. Hannah
juga kehilangannya.
Oh Tuhan, aku merindukan Mike.
Semua orang lalu mulai meninggalkan kami, tak nyaman dengan drama dan
air mata yang bisa ditonton gratis ini. Todd berdiri dengan kikuk,
bingung harus melakukan apa, kemudian dia bergumam tentang sesuatu dan
berjalan cepat menuju mobil.
Aku dengan segera mendatangi Hannah, tak ada lagi perasaan benci itu.
Hannah dan aku hanya sama-sama kebetulan mencintai Mike. Hanya saja,
aku yang beruntung dicintai olehnya, dan dia tidak. Sedih rasanya kalau
mengingat itu. Apalagi orang yang kami cintai sudah terbujur kaku.
“Maafkan aku, aku hanya...”
Hannah menjawab dengan suara marah yang bercampur dengan tangis,
“Tidak, aku mengerti kenapa kau menyalahkanku seperti itu. Aku tidak
menyukaimu, Lizzy. Aku benci padamu.”
“Dan aku juga membencimu, Hannah. Kau selalu bisa membuat Mike
tertawa. Dan kalian pernah berpacaran, aku merasa tidak diterima.”
Hannah menggeleng dan menatapku dengan tatapan malu, “Aku sengaja
membuatmu merasa tidak diterima, karena aku benci padamu. Aku cemburu
padamu. Kau membuat Mike berubah, menjadi lebih baik, sabar, dan lembut.
Rasanya seperti melihat manusia yang berbeda, seperti ada alien yang
mengambil alih kepribadiannya. Aku merasa kau merebutnya dariku. Aku
benci melihatnya menjadi begitu baik, tapi bukan untukku. Bukan
untukku.”
Aku memeluknya, dan Hannah meletakkan kepalanya ke bahuku, menangis
tersedu-sedu lagi, “Dan aku merasa sangat malu pada diriku sekarang. Aku
membenci diriku sendiri. Kalau bukan karena aku yang sudah begitu
manja, Mike tidak akan bertengkar denganmu. Mike tidak akan ada disana
sekarang. Lebih baik melihat Mike hidup, walau bersamamu, dibandingkan
melihat dia mati, sendirian tak tersentuh olehku, oleh kita, oleh
siapapun.”
Aku menangis, Hannah pun menangis. Bersama kami menangis. Aku tak
tahu sampai kapan kami menangisi sesosok pria tampan bernama Mike. Mike
yang begitu mencintai hidup. Mike yang begitu suka menonton pertandingan
basket. Mike yang pandai memasakkanku risotto. Mike yang senang
menghirup bir sembari bekerja di depan laptopnya. Mike yang senang
mengedipkan mata saat memandangku. Mike yang selalu tersenyum lebar
ketika melihatku meminjam pakaiannya. Mike, ayah bayiku.
Oh Tuhan...Betapa aku mencintai Mike.
*****
Aku sudah mengepak beberapa barang pribadi Mike ke dalam kardus. Tak
mungkin aku akan menyimpannya. Aku hanya akan menyiksa diriku sendiri.
Aku tak akan kuat. Dan karena aku mengandung bayiku, aku tak bisa
terus-terusan berduka seperti ini. Mike tidak akan menyukainya. Aku
nyaris tidak makan apapun sejak kami bertengkar dan dia meninggal. Aku
hanya menangis terus-menerus. Dan itu melelahkan.
Sejujurnya aku bahkan merasa pasokan air mataku sudah mengering dan
habis. Mungkin kalau aku menangis lagi, yang kukeluarkan adalah darah.
Aku menguap keras, begitu lelah. Yang kubutuhkan saat ini adalah
tidur yang panjang dan lama. Aku bisa makan besok, setelah aku merasa
lebih baik. Aku sangat bersyukur janinku tidak terlalu banyak menuntut.
Aku tahu biasanya pada trimester pertama akan sulit dan menimbulkan
mual-mual sepanjang hari.
Ketika kepalaku menyentuh bantal, segera saja aku jatuh tertidur.
Namun itu tidak lama, karena tak lama kemudian aku mencium seperti bau
busuk dan tidak sedap, membuatku begitu mual dan ingin muntah. Aku
terbangun dan apa yang kulihat membuat jantungku berhenti sejenak.
Mike. Di depanku ada Mike. Dan bukan seperti film-film, dimana sang
kekasih didatangi arwah kekasihnya yang tampan atau apa. Mike yang ada
di depanku mengenakan jas hitam yang sama persis dengan ketika ia
dikuburkan. Mike yang ada di depanku terlihat seperti mayat yang sudah
diawetkan. Kepalanya terkulai lemas di lehernya, sebelah matanya bahkan
sudah tak bisa dibuka. Dan kakinya yang hancur...masih hancur, mengotori
lantai dengan lumpur. Seolah dia berjalan kemari, dengan menyeret
tubuhnya.
Aku ingin menjerit, tapi tak sanggup. Tidak, ini bukan Mike. Bukan Mike-ku!
“...Lizzy...”
Aku tak bisa menjawab. Air mataku mengalir lagi, dan rasanya aku
mengompol saking ketakutannya. Apalagi ketika mayat Mike kembali
menyeret kakinya yang hancur mendekat, menuju tempat tidurku, tempat
tidur kami, aku menjerit pelan, namun tak ada suara yang keluar.
“...Lizzy...” Kini dia mulai berbicara lagi, suaranya terdengar seperti menggeram. Apakah dia akan memakanku?!
Mayat hidup ini dengan bersusah payah berusaha mengangkat tangannya,
mengelus wajahku. Badanku bergetar hebat, aku menjerit dalam hati.
“...Ma....ma...”
“A, apa, Mike? Ada apa?”
“...Ma....kkkkaannn...”
“Kau kelaparan? Kau mau memakanku?”, cicitku ketakutan.
“...Baaa...baayii...kkkkiitttta...”
“Kau mau memakan bayi kita?!”
Sialan, aku begitu panik sekarang, dengan sigap aku melindungi
perutku dan menjauh darinya, tapi rupanya tangan zombie ini mencengkram
tanganku erat. Tak ada yang bisa kulakukan, selain berdoa dia tidak
tertarik memakanku maupun bayiku.
“...Aaakkkkuuu...ccinnttaa...pppaadddamuuu, Lizzy...”
Aku terdiam kaget. Tidak, dia bukan mau memakanku. Dia bukan mau
menyantapku mentah-mentah. Mike hanya mau mengucapkan salam perpisahan
terakhir.
Kusentuh wajahnya yang rusak, mengelus pipinya yang penuh luka dalam.
Aku menatap matanya, satu matanya yang melihatku. Mata itu kelihatan
begitu mati, tapi bagaimanapun, mata itu memang milik Mike.
“Kau berjalan sejauh ini, keluar dari kubur hanya untuk mengatakan
kau mencintaiku, Mike?”, tanyaku sambil menangis. Oh, rupanya aku masih
bisa menangis.
“...Ma....kkkkaannn...”
Aku tertawa kecil, “Oh, dan menyuruhku makan juga?”
“...Baaa...baayii...kkkkiitttta...”
“Bayi kita? Dia sehat, kami meridukanmu, Mike. Aku sangat merindukanmu...”
“...Aaakkkkuuu...ccinnttaa...pppaadddamuuu, Lizzy...”, katanya
mengulang-ulang terus. Mungkin dia memang tidak mengucapkan kalimat
lain.
“Dan aku sangat mencintaimu, Mike. Tapi aku sudah merelakanmu pergi.
Kami akan baik-baik saja. Aku akan terus mencintaimu, Mike.” Aku tahu
aku terdengar gila, atau aku memang gila. Tapi aku kemudian mendekatkan
bibirku ke bibirnya, ke wajahnya yang tergantung lemah di lehernya itu,
dan kukecup mesra. Aku tak peduli baunya, aku tak peduli dengan rasanya,
aku tak peduli bagaimana kelihatannya. Yang kutahu ini adalah bibir
Mike, pria yang kucintai.
Dan kemudian aku terbangun, tentu saja. Ini semua ternyata hanya
mimpi. Mimpi yang begitu aneh dan buruk, tapi herannya begitu melegakan
perasaan. Perutku bergemuruh begitu hebat, dan aku tahu, yang begitu
kuinginkan sekarang adalah sepiring chicken pot pie yang ada di dalam
kulkas. Ketika aku bangkit dari kasur, aku tersentak melihat lantai
kamarku yang begitu kotor berlumuran lumpur yang telah mengering.
Jantungku kembali berhenti berdetak. Ini semua hanya mimpi bukan?
Atau ini nyata?
Jakarta, 09 November 2012
10.45 p.m.
Truly inspired by My Chemical Romance’s songs, taken from Three Cheers For Sweet Revenge :
Helena and Cemetery Drive.
ini sumpah kereeeeen. sampai deg-deg gan waktu si cewenya tidur dan tiba2 ada bau busuk. sukses bikin pembaca gamau nutup mata.
BalasHapusditunggu kunjugannya ke blog aku ya kak klo ada waktu http://peacereva.blogspot.com
Hey, thanks for reading :)
BalasHapusWill do, thank you yaaa