HELLO, GOODBYE
HELLO, GOODBYE
Suasana toko buku selalu membawa pecinta buku
manapun masuk ke dalam suasana damai.
Auranya begitu magis. Aroma buku baru yang lebih wangi dibandingkan dengan
Channel No. 5 sekalipun. Tumpukan buku-buku dengan cover berwarna-warni yang sangat memanjakan mata. Lalu lalang
orang-orang yang begitu tenggelam dengan isi pikiran mereka sendiri,
memilah-milah buku mana yang akan mereka beli. Atau hanya sekumpulan remaja
usia tanggung yang menumpang membaca, dengan seenak hatinya merobek buku dari
plastik pembungkus. Pemandangan ini selalu bisa membuat siapapun lupa sejenak dengan keruwetan dan kepahitan hidup. Ketika memilih satu dari sejuta buku, rasanya bagai berhasil memilih seorang
pria yang
tepat di luar sana. Analogi yang aneh memang.
Di
sebuah bagian toko, ada Tiara. Seorang wanita berumur 23 tahun dengan rambut
dipotong pendek dan tubuh yang lumayan tinggi walau postur tubuhnya agak
bungkuk. Dengan mantap dia menuju
sebuah rak berisi novel-novel misteri. Hari ini Tiara memutuskan ingin menjadi seorang detektif hebat, yang bisa mengungkap
rahasia pembunuhan super rumit yang tak ada seorang pun bisa menebak pelakunya.
Hari ini, Tiara ingin menjelajah bersama detektif kesukaannya, Hercule Poirot. Tumpukan
novel karangan Agatha Christie itu seolah memanggilnya. “Kemari,
pilih kami! Kami akan membawamu ke sebuah petualangan seru yang jauh lebih
menarik dari kehidupanmu!” Seolah tersihir, dibuatnya Tiara terpaku dan termangu-mangu. Bingung.
Tiba-tiba, dari belakang muncul sebuah tangan laki-laki yang lebar, panjang, dengan
kulit kecokelatN. Dia meraih sebuah buku karangan Agatha
Christie, “And Then There Were None”. Tiara mendadak terhenyak. Nafasnya berhenti mendadak. Dia kenal tangan itu. Ada hari-hari dimana Tiara merasa sangat senang ketika pertama kali digandeng oleh
pemilik tangan itu. Ketika tangan itu membelai pipinya dengan lembut. Ketika tangan
itu menghapus air matanya setiap Tiara menangis setelah menonton Sleepless in Seattle utuk yang keseratus
kalinya. Ketika tangan itu mengulurkan sebungkus es krim cokelat kacang
kesukaan Tiara di hari yang panas. Ketika kedua tangan itu mengatup, tanda sang
pemilik sedang berpikir keras. Ketika
tangan itu memeluk tubuhnya dari belakang dengan manja. Tubuh Tiara membeku sesaat lalu setelah sepersekian detik, yang
terasa bagaikan sejam lamanya, lalu berbalik ke arah sang pemilik tangan, dan dia tahu memang tidak salah
mengenali pemilik tangan itu.
Pemilik tangan itu sudah pasti Gilang.
Pemilik tangan itu sudah pasti Gilang.
Dia masih Gilang yang sama, walau ada beberapa
perubahan fisik, tentunya. Tatapan matanya yang selalu memancarkan sinar optimis
kini lebih sendu. Rahangnya terlihat kasar, ditumbuhi cambang tipis, membuatnya
lebih terlihat sebagai seorang lelaki dewasa. Ada
kerutan dalam di dahinya, yang justru membuat wajahnya lebih tampan. Dan rambutnya
sekarang sudah tidak melewati
kerah baju lagi. Rambutnya sekarang dipangkas pendek saja, terlihat bersih.
Dari tubuhnya menguar wangi cologne yang
sama seperti lima tahun lalu. Lucu, terlihat begitu berbeda namun masih ada
jejak-jejak kenangan lama yang tertinggal. Gilang yang di depannya adalah
seorang asing tapi sekaligus terasa begitu dekat.
“Hei, Gilang?”, tegurnya tak pasti. Dia begitu mirip sekaligus berbeda dari
Gilang yang telah Tiara kenal. Dia seketika berbalik. Wajahnya terlihat begitu
kaget melihat Tiara.
“Tiara? Is this
really you?” Gilang bertanya takjub. Bola matanya membesar. Keningnya
mengkerut. Sekilas sinar optimis
memancar dari sana.
Dia terlihat begitu kaget sekaligus senang. Entah senang karena apa.
Tiara mengangguk sambil tersenyum gugup. Pikirannya
berputar cepat. Mengapa setelah
sekian lama tidak bertemu, Tuhan tiba-tiba mengayunkan tongkat kehendaknya,
membuat pertemuan ini terjadi. Mengapa dari sekian ribu toko buku di kota ini, mereka harus bertemu di sini, di rak buku yang sama pula!
Gilang
tentu saja kaget. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata gadis dengan
penampilan sekeren ini adalah Tiara. Yang diingatnya dari sosok Tiara dulu
adalah seorang gadis lemah lembut dan manja, dengan rambut hitam halus yang
tergerai sampai ke punggung. Tiara yang dulu selalu memakai baju-baju berwarna
pastel yang begitu feminim, terlihat begitu anggun dan lembut. Sudah lima tahun
sejak mereka putus. Dan Tiara yang ada di depannya kini berambut sangat pendek,
padahal dia sangat mencintai rambut indahnya. Rambutnya kini berwarna hitam dengan kilau kecoklatan ketika tertimpa sinar lampu,
tanpa aksesoris apapun. Tidak ada jepit lucu, bando imut, atau apapun. Tiara
yang ada di depannya mengenakan kaus polo berkerah berwarna kuning, dengan skinny jeans biru butek dan mengenakan
tas ransel hitam besar. Postur tubuhnya seolah bungkuk, tidak tegap penuh
percaya diri seperti dulu. Seperti
bukan Tiara saja.
“Aku sudah tidak mirip dengan yang dulu ya?”, goda
Tiara sambil mengusap lehernya yang telanjang. Berusaha mencairkan suasana hatinya yang mulai kacau dan panik.
Gilang tertawa keras. Suara tawanya yang nge-bass itu. Salah satu suara favorit
Tiara dulu. “Sudah lima tahun, lho. Jelas saja kamu sudah
tidak seperti kamu yang dulu.”
Tiara tersenyum. “Dan kamu juga berubah banyak.”
“Sudah mirip dengan pria dewasa belum?”, tanyanya
sambil tersenyum pahit. Dan Tiara mengerjap kaget.
Rasanya lebih baik jika Gilang
menamparku daripada menyindirku seperti itu,
pikirnya.
Tiara mengedikkan bahu, berusaha terlihat tenang
sambil menarik nafas panjang. Lalu
segera menyambar buku apapun yang ada di depannya, berusaha kabur dari suasana tidak menyenangkan ini.
“Oke, aku mau beli buku ini.”
“Bagus! Terus habis ini kita minum kopi yuk! Aku mau
ngobrol banyak sama kamu.”
“Gak,
aku gak bisa. Aku ada urusan habis ini.”
Gilang
mendengus kesal, “Please, Tiara. Aku
kenal kamu. Kalau kamu tidak mau melakukan sesuatu, cuping hidung kamu akan
melebar dan kamu mendadak seperti sedang duduk di atas bara api.”
Tiara
menyergah jengkel, “Cuping hidungku tidak melebar!”
“Iya,
melebar! Persis kayak hidung kuda nil!” Gilang tertawa keras dengan leluconnya
sendiri. Tiara terdiam kesal.
Krik.
Krik. Krik. Super garing.
Pikir,
Tiara, pikir!
“Oke,
aku memang tidak mau minum kopi sama kamu, Lang. Tidak nyaman.”
Gilang
seketika memasang wajah memelas, matanya bersinar penuh harap dan bibirnya
cemberut. Seperti anak-anak pengamen di jalan, yang melihatmu dengan penuh
harap setelah menyanyikan sebuah lagu terkini dengan cara yang begitu aneh
sehingga sulit untukmu mengetahui dia menyanyikan lagu apa. Tidak tega untuk
tidak memberikan selembar uang, demi rasa kasihan. “Kalau kamu tidak nyaman,
kamu bisa langsung pergi. Tapi aku butuh bicara sama kamu, Ra. Penting banget
untuk aku ngomong sama kamu sekarang. Cuma kamu yang bisa mengerti.”, katanya
pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jeansnya, pertanda dia benar-benar menginginkan sesuatu, namun
menahan diri supaya tak terlihat begitu antusias. Gilang tahu persis Tiara
sukar untuk menolak.
Tiara
akhirnya menyerah. Sambil mendesah kesal Tiara menjawab, “Tapi kamu yang
traktir ya!”
***
Starbucks
di sore hari, selalu dipenuhi oleh berbagai macam jenis manusia.
Kebanyakan dari mereka adalah eksekutif muda berusia awal 30, yang sudah
melepas dasinya dan menggulung lengan kemejanya, asyik mengisap rokok sambil
bercerita mengenai pekerjaan atau terlalu sibuk dengan gadgetnya. Ada juga
sekumpulan ibu, yang nampaknya asyik curhat dengan air mata bercucuran,
berkeluh kesah mengenai suaminya yang selingkuh dan anaknya yang sulit diatur,
tanpa peduli bahwa semua orang bisa mendengar (dan basically tidak peduli). Dan ada juga Gilang dan Tiara, duduk di
sudut ruangan, di sebuah kursi dengan jok hitam yang empuk. Di depan
Tiara sudah ada segelas caramel
macchiato panas dan sepiring biscotti.
Gilang sedang asyik menghirup kopinya, double
espresso sambil memeriksa smartphonenya,
yang tidak berhenti berkelap-kelip.
Padahal dulu dia benci dengan kopi hitam, pikir
Tiara sambil pura-pura tidak memperhatikan. Benci dengan
pengaruh kafein di tubuhnya, karena dia lebih suka tidur lama di malam hari,
kecuali untuk menonton pertandingan tim sepak bola kesukaannya.
Gilang kemudian berdeham, lalu mengeluarkan sekotak
rokok dari dalam saku jeansnya. “Tak
apa kan kalau aku merokok?”
“Aku tak tahu kau sekarang merokok.”
“Banyak hal dari diriku yang sudah berubah. Ya, aku
perokok sekarang.”
Tiara menghela nafas panjang. Sepertinya Gilang masih sakit hati. Padahal
sudah lima tahun berlalu sejak Tiara memutuskan Gilang demi seorang pria dewasa
yang lebih tua delapan tahun dari dirinya. Sudah lima tahun sejak itu, namun
toh Tiara berpikir Gilang tidak akan
mempermudah suasana ini.
Dia senang membuatku berkubang dalam rasa bersalah,
persis seperti Gilang yang dulu, rutuknya dalam hati.
“Kamu juga jadi pendiam sekarang.”, tegur
Gilang lagi sambil menyulut rokoknya dengan api
dan menghisapnya dalam-dalam.
Tiara mengangkat bahu lalu menutup bukunya,
dengan wajah cemberut. “Aku kan
sedang membaca.”
“Aku mengenalmu,Tiara. Kamu hanya sedang berpura-pura
membaca. Mata kamu sama sekali tidak bergerak.
Bengong doang.”, katanya sambil
menghembuskan asap ke arah Tiara.
Wajah
Tiara terselubung dengan asap. Dia
terbatuk sambil mengibaskan asapnya dengan kesal, “Do you mind?”
Gilang
hanya terkekeh geli, “Aku kira tipemu seorang perokok.”
“Cukup, Gilang.”
Gilang menampilkan ekspresi menjengkelkan seraya
menjentikan rokoknya ke asbak. Dia lalu tetap merokok sambil menatap tajam.
Jengah rasanya, desis suara Tiara dalam hati.
“Rasanya lebih nyaman
berbicara dengan diriku sendiri saat ini, toh kamu juga Cuma diam, padahal kamu yang
mau ngomongin sesuatu sama aku.” Tiara
merasa perlu untuk menjelaskan, berusaha berkilah bahwa sebenarnya dia gugup
dan takut, sambil balas menatapnya
dengan tajam, tak mau kalah.
Kalau dikiranya ini adalah sebuah permainan untuk
membuatku menangis, dia salah besar, jerit Tiara marah di
dalam hatinya.
“Kamu berubah banyak. Tiara yang dulu selalu bercerita
dengan nada riang gembira.”
“Aku masih Tiara yang sama, hanya saja aku sedang
tak ingin bercerita dengan nada riang gembira
kepadamu.” Tiara
mencium bau balas dendam. Ya, dia mengkhianati
Gilang dulu, dan Gilang tidak sempat
mengatakan apapun sejak lima tahun yang lalu. Ketika Tiara memutuskannya dulu,
Tiara langsung memutuskan semua bentuk komunikasi. Meninggalkan Gilang dalam
keadaan bingung dan hati hancur lebur. Sudah pasti Gilang akan balas dendam. Dimulai
dengan menyiksa pelan-pelan dengan sindiran-sindiran tajam.
“Fair enough. Lagian, aku kaget lho, lihat kamu tadi. Rambut kamu jadi pendek banget
sekarang. Aku
sampe gak bisa ngenalin kamu lagi. Dan baju kamu! Dandanan kamu udah kayak cowok aja.
Kenapa sih rambut kamu ampe dipotong pendek
gitu? Aku tahu kamu cinta banget sama rambut
panjang kamu. Ngeliat kamu dengan rambut sependek ini buat aku gak make sense aja. Udah kayak Lady Gaga
pake baju kaos biasa tahu gak. Dan kenapa juga aku mesti menganalogikan kamu
sama Lady Gaga?” Tiba-tiba Gilang merentetkan sederet pertanyaan dengan penuh rasa keingintahuan. Secara refleks Tiara menyentuh rambutnya yang terasa begitu tajam dan kasar
di tangan lentiknya.
“Gak kenapa-kenapa juga sih. Enak aja, jadi ringan, gak ribet ngurusnya.” Akhirnya bisa juga Tiara bersuara,
menjawab dengan nada ringan.
Gilang tertawa, “Ya ampun, kamu kok gugup banget sih?
Salah tingkah begini gara-gara aku ya?”
Wajahnya memerah malu.
Sungguh mudahnya dia dibaca oleh Gilang! “Enak aja!”
“Aku emang selalu bisa menimbulkan reaksi begini ke
semua cewek, dimaklumi kok!”
“Hahaha. Dasar super PD!”, cibir Tiara lalu memasukkan bukunya ke dalam tas. Menyerah dengan kamuflasenya yang begitu lemah
dan mudah dibaca.
Gilang menatap Tiara lama,
lurus ke dalam kedua bola mata Tiara yang berwarna abu-abu karena lensa kontak, “Aku boleh nanya sesuatu hal ke kamu gak?”
Tiara balas menatapnya lurus, tak
tahu harus berkata apa. Kemudian Tiara memalingkan pandangannya
ke arah lukisan di belakang kepala Gilang sambil mengangguk, berusaha terlihat
tidak peduli, walau dia takut akan pertanyaan yang akan diajukan oleh Gilang.
Gilang
menghirup kopinya yang masih mengepul dan mengeluarkan aroma khas, lalu berkata
pelan, “Udah lima tahun, kamu tahu itu bukan waktu sebentar. Aku butuh tiga
tahun, Ra. Tiga tahun sialan buat ikhlas ngelepas kamu pergi. Tiga tahun sialan
supaya akhirnya bisa berhenti mikirin kamu.” Nada suaranya begitu pahit. Tiara
mendesah pasrah, benci memikirkan penyebab Gilang menjadi begitu pahit adalah
karena perbuatannya.
“Please, Lang. Kamu tahu aku ngerasa
begitu bersalah.”
“Tapi
rasa bersalah itu gak menghentikan kamu kan? Kamu tetap saja selingkuh sama
dia! Tanpa peduli kalau saat itu aku masih jadi pacar kamu. Dan ketika semua
jadi semakin serius, kamu cuma bisa nangis minta maaf sama aku!” Suara Gilang
membahana, termakan oleh emosi yang sudah ditahannya selama lima tahun. Gilang bagaikan sebuah panci bertekanan tinggi yang dibuka tutupnya,
meledak.
Beberapa orang di dekat mereka menoleh dengan kaget.
Tiara
lalu menutup wajahnya. Benar, Gilang cuma berkata omong kosong mengenai cerita
yang hanya bisa ia curahkan kepadanya.
Maksudnya memang untuk balas dendam, dan sekarang ada di tahapan
mempermalukannya di muka umum.
“Lang,
kamu bilang ada yang kamu mau ceritain ke aku. Kalau cuma ini, kalau kamu
memang cuma berniat buat mempermalukan aku di muka umum, mending kamu ga usah
buang-buang waktu dan uang kamu. Cukup kamu teriakin aku ‘Pelacur!’ di tengah
jalan, atau sekalian aja kamu nampar aku. Itu jauh lebih
baik daripada yang kamu lakuin sekarang!”, bisik Tiara menahan tangis.
Gilang
menatapnya lama, berusaha menenangkan nafasnya yang memburu penuh amarah. Lalu
kemudian dia berkata dengan suara pelan dan kalah, “I have this girlfriend, Ra. Tapi lalu aku ketemu sama orang lain. Selalu
ada orang ketiga. Rasanya gila ketika aku mutusin dia demi orang baru ini. Aku
langsung inget sama kamu. Aku langsung bisa ngerti apa yang udah kamu rasakan
waktu itu.”
Tiara mendesah kesal, “Toh itu tidak
menghentikan kamu untuk bersikap seolah seperti bajingan.”
“I’m just being a bastard. A cynical bastard.
Old habit never die.”, kilahnya sambil menutup wajah dengan tangan
besarnya. “And i’m so sorry. Kamu gak
tahu betapa senangnya aku ketemu kamu tadi. Akhirnya aku dikasih kesempatan
untuk menanyakan hal ini, pertanyaan besar yang gak pernah bisa dijawab, selain
sama kamu. Kenapa kamu rela mengambil resiko itu? Kenapa kita berani mengambil
keputusan yang begitu radikal, meninggalkan seseorang yang sudah jelas-jelas
mencintai kita demi orang lain, dengan masa depan yang masih buram? Aku gak
tahu pasti apa aku akan bahagia sama seorang baru ini, dan itu dia yang jadi
pangkal permasalahannya. Why do you have
the faith that you will be happy with him, instead of me?”
Tiara
terdiam lama sementara Gilang diam menunggu jawaban. Bola matanya yang hitam
kelam itu melebar, terlihat begitu terluka, mengetahui kenyataan bahwa
kehidupan cinta mereka bagaikan sebuah lingkaran setan yang bulat sempurna. Tiara
melukai Gilang, lalu Gilang melukai pacarnya, dan hanya Tuhan yang tahu
pacarnya itu mungkin akan menghancurkan hati seorang pria malang, yang akan
mematahkan hati wanita lain.
Gilang
rupanya sadar Tiara tak bisa berkata apapun mengenai ini, maka ia melanjutkan
dengan suara pelan, “Aku masih inget, ketika kamu mutusin aku demi dia. Kamu
nangis karena kamu nyakitin aku. Kata temen kamu, Nia, kamu sampe gak sekolah 2
hari karena kamu ga sanggup bangun dari tempat tidur. Kamu cuman bisa nangis
tersedu-sedu. Aku marah banget sama kamu waktu itu. Aku yang sakit, aku yang
dikhianatin, tapi kenapa kamu yang nangis? Kenapa seolah-olah kamu yang
disakitin sama aku? Ingin rasanya aku datengin kamu saat itu, aku cekik kamu.
Tapi harga diriku yang terlalu besar ini gak mengijinkan aku kesana. Aku gak
mau sakit lagi ngeliat kamu nangis. Kamu tahu aku lemah sama air mata kamu.”
Tanpa
sadar kata-kata meluncur dari mulutku, “Aku nangis karena aku sudah nyakitin
salah satu orang paling baik yang pernah aku kenal. Aku gak bangga sama itu.”
“Ya,
dan akhirnya sekarang aku bisa ngerti kenapa kamu nangis. Kenapa? Karena aku
juga nangis waktu mutusin pacarku. Bodoh ya, laki-laki kok nangis. Dia cinta
banget sama aku, tapi aku malah ninggalin dia demi cewek lain. Dan aku gak
bangga akan hal itu. Kenapa kita harus meremuk-redamkan hati seseorang demi
sebuah keyakinan semu bahwa kita akan bahagia tanpanya?”
Hening.
Diam. Rasa sesak dan penyelasan begitu memenuhi udara. Cinta akan selalu
berakhir dengan rasa sakit. Menyakiti. Disakiti. Semua proses ini selalu berulang
dengan cerita yang tidak jauh beda di belahan dunia manapun. Namun kenapa kita
tidak pernah berhenti untuk mencoba mencintai seseorang? Dengan hati yang sudah
berdarah-darah dengan nanah yang membusuk, semestinya hati itu dibuang,
dibakar, dimusnahkan sebelum mencemari bagian tubuh yang lain. Otak misalnya,
bisa gila karena cinta.
Tiara
mencuil biscotti dan mengunyahnya
pelan lalu menggelengkan kepala pelan, “Aku pikir keyakinan itu ada karena kita
terlalu naif. Terlalu percaya dan terlalu mengagungkan sebuah hal abstrak
bernama cinta. There are no such thing
called love, you know.”
Dahinya
mengkerut mendengar perkataan Tiara,”Looks who’s talking. Kamu, yang selalu
berpikir dunia ini indah, yang selalu nangis nonton film romantis? Kamu yakin
kamu beneran Tiara? Bukannya robot canggih kayak di film-film science fiction itu?”
Tiara
melipat kedua lengannya menyilang, membentuk sebuah proteksi, menutup diri dari
dunia, “Karma berbicara, Lang. Aku ninggalin kamu buat dia, dan dia ninggalin
aku demi perempuan lain.”
Gilang
tertegun, wajahnya menyiratkan berbagai macam emosi yang saling bercampur aduk.
Tiara yakin Gilang menertawainya, tapi terlalu gentle dan baik untuk melakukannya.
Dia
mungkin merasa sedih untukku, pikirnya.
Atau
jangan-jangan Gilang gembira dan berpikir untuk kembali padanya. Harapan yang
aneh, tapi toh bisa saja terjadi, siapa tahu masih ada perasaan sayang itu,
walau hanya sesaat. Tiara tak bisa membaca ekspresi wajahnya. Padahal dulu
selalu mudah untuk memperkirakan perasaan Gilang hanya lewat sinar matanya.
Lima tahun telah membuatnya menjadi sebuah pintu yang terkunci, misteri yang
sulit dipecahkan.
“Maaf...Aku gak tahu harus bicara apa...Dia
pasti udah ngancurin kamu sampai bikin kamu seperti ini. Bukan Tiara yang manis
dengan senyum yang selalu ada di wajah kamu. Menjadi Tiara yang jadi begitu
tertutup dan keras juga pahit.”, katanya pelan sambil menundukkan wajahnya.
Simpati yang mungkin akan melelehkan hati siapapun. Namun Tiara bisa merasakan
ada senyum sinis di balik kata-kata simpati itu.
“Dan
mungkin kamu mau tertawa dan bilang, ‘I
told you so’ ” Tiara menukas dengan tajam, sudah siap dengan serangan
berikutnya lalu meneguk kopinya.
“Mana
mungkin aku setega itu ngetawain kamu, Ra? Aku mungkin sarkastis, tapi aku ga
sejahat itu.”
Tiara
mengangkat bahu, “Sudahlah, aku gak akan pernah tahu apa yang ada di dalam
pikiran kamu. Apa yang gak aku tahu gak akan bisa menyakiti aku. Satu hal yang
pasti, cinta itu hanya akan berakhir menyakitkan. Aku gak akan pernah mencintai
seseorang sebesar itu lagi. Aku gak akan mau jatuh lagi ke dalam keadaan buta
dan tuli karena cinta. Kayak keledai. Bodoh namanya.”
Gilang
terdiam lama dengan pandangan menerawang, entah apa yang ia pikirkan. Setelah
semenit terdiam, yang rasanya bagaikan setahun, kemudian dia bergerak dan mencomot
biscotti lalu melahapnya dan kemudian
meneguk habis kopinya, “Once upon a time,
there’s a man who loved a woman, who loved
another man, who loved the other woman. And the story goes on and on. A circle
of unhappy love. Yippie!”
Rasanya
ada selapis cairan hangat yang sudah begitu mendesak minta ditumpahkan di mata
Tiara. Gilang lalu meraih tisu dan
dengan canggung memberikannya ke tangan Tiara. Dulu, kapanpun Tiara menangis,
entah itu karena Sleepless in Seattle
yang sudah tak terhitung lagi ditonton olehnya, atau kakinya terantuk meja, atau ketika Tiara
mengalami hari buruk, Gilang selalu mengusap air matanya dengan jari-jarinya
yang besar dan hangat, dalam diam tanpa kata-kata.
“Maafkan
aku, aku masih cengeng ternyata.”, bisik Tiara pelan lalu menotol-notolkan
pipinya yang basah.
“Cara
yang tidak menyenangkan untuk mengingatkanku ternyata kamu, di dalam kemasan
aneh seperti sekarang, masih Tiara yang sama.”, katanya menggerutu.
Digaruk-garuknya kepalanya yang tak gatal.
“I miss you, Gilang.”, kemudian keluarlah
kata-kata bodoh itu.
Dia
hanya meringis, “God knows how i missed
you too, Tiara. Tapi apa yang kita rindukan hanyalah sebuah kenangan manis,
yang tidak akan pernah kembali. Dan juga penyesalan, yang tidak akan pernah
berakhir. Aku sadar, aku bukan pria yang cukup baik untukmu dulu. Aku terlalu
egois, terlalu sibuk dengan rencana-rencanaku, tanpa melibatkanmu. Butuh waktu
lima tahun untuk mengerti akhirnya, ternyata bukan sepenuhnya salah kamu. Kamu
meninggalkan aku demi pria yang lebih baik.”
Air
mata Tiara terus berjatuhan tanpa bisa dicegah lagi, “Terlalu banyak memori menyakitkan diantara
kita ya. Memori indah kita sudah aku rusak, sudah teracuni dengan
perasaan-perasaan menyakitkan.”
“And here we are, damaged and broken.”
Tiara
kemudian berdiri, merapikan bajunya lalu tersenyum, “Terima kasih buat memori
indah dari kamu, Lang. Dan pastiin kalo dia emang bener-bener worth it. You deserve to be happy. Kamu
orang baik.”
Gilang
ikut-ikutan berdiri, meraih tangan Tiara lalu menelitinya, seolah tangan Tiara
adalah spesies baru dan aneh, yang begitu menarik sehingga sulit untuk
dilepaskan. “Aku emang orang baik. Dan kamu, jangan pernah berhenti percaya.
Ada orang yang baik untuk kamu di sebuah tempat.”
“Oh please.” , gerutu Tiara lalu menarik
tangannya pelan dan pergi. Ketika sampai di depan pintu, dia lalu berbalik dan
tersenyum lebar kepada Gilang, yang masih berdiri terpana menatap punggung
Tiara yang beranjak jauh. “Thank you for
loving me. Be happy!”, teriaknya girang. Semua orang nampaknya kini
menonton, seolah mereka sekarang sedang menyaksikan sebuah scene dari film romantis.
“Be happy!”, kata Gilang keras dan
menyunggingkan sebuah senyum terakhir ketika Tiara menoleh kearahnya, mengintip
dari balik pundaknya. Senyum yang miring ke kiri, senyum favorit Tiara.
Tiara
segera keluar dari gedung mal, mencegat taksi lalu masuk, duduk menghempaskan
tubuhnya ke kursi. Setelah menyebutkan arah tujuannya, dia lalu melihat ke
luar, diam merenung. Di bibirnya tersungging senyum lega. Selamat tinggal
perasaan bersalah. Tidak ada lagi sengatan rasa perih ketika dia mengingat-ingat
masa lalu, bagaimana dia menyakiti Gilang. Tidak ada lagi perasaan menyesal
karena pernah membuang seorang yang begitu baik dan mencintainya. Akhirnya dia
bebas.
Gilang
berjalan lambat-lambat menyusuri koridor mal, melihat-lihat berbagai macam
barang dipamerkan di etalase, menggoda orang-orang untuk mengucurkan kantung
dalam-dalam untuk membelinya. Tapi pikirannya tidak kesana. Gilang termangu,
akhirnya sebuah pertanyaan besar dalam hidupnya sudah terjawab. Beban besar
yang bercokol di dalam dadanya sudah hilang. Akhirnya dia sudah bisa ikhlas
memaafkan Tiara. Akhirnya sekarang sudah bisa mengucapkan selamat tinggal
kepada masa lalu yang menyakitkan.
Ucapkan selamat datang kepada masa depan yang penuh
misteri namun begitu menggairahkan. Selamat datang untuk seseorang yang baru,
dengan lembar cerita yang baru.
Ucapkan selamat tinggal kepada masa lalu yang begitu
perih dan menyakitkan untuk diingat. Ucapkan selamat tinggal untuk seseorang
yang menyakiti hatimu sedemikian rupa, walau terasa sulit maaf ini dilakukan.
Be happy!
****
Jakarta, 15 Oktober 2012
08.00 am
0 komentar: