Jeritan Tanpa Suara
Aku tersentak kaget. Kepalaku terasa sakit berdenyut-denyut, seolah
ada sebuah palu godam yang memukulnya berulang-kali. Ketika aku melihat
ke sekeliling, yang kulihat hanya sebuah selaput tipis..Ah, rupanya
plastik. Tubuhku ditutupi plastik. Tubuhku tak bisa bergerak. Dan aku
telanjang. Rasanya sangat dingin. Seluruh bulu halus di tubuhku
meremang. Aku ketakutan.
Aku menutup mata sesaat, menarik nafas panjang, menikmati denyutan
yang menyiksa itu, sebelum akhirnya aku berusaha mengingat apa yang
telah terjadi sebelumnya. Namun sebelum aku bisa mengingat hal terakhir
yang bisa kupikirkan, terdengar sebuah suara.
“Bagus, kau sudah sadar.” kata suara itu pelan, dan aku menoleh ke
arahnya. Di sudut ruangan yang gelap dengan hanya penerangan yang
remang-remang dia duduk. Sinar matanya berbeda dengan apa yang kulihat
selama ini. Selama ini, aku melihatnya sebagai orang yang lembut. Namun
ternyata semua orang menyimpan sisi gelapnya sendiri.
“Dimana aku?”, bisikku. Ternyata berusaha berbicara membuat denyutan di kepalaku makin bertambah.
“Di tempatku.” jawabnya, dengan senyum lebar yang tidak disembunyikan, mungkin dia bisa melihat betapa ketakutannya aku.
Aku meneguk ludah. Kemudian menarik nafas panjang, “Dan dimana
Christy? Kau apakan dia?” bisikku lagi dengan suara gemetar. Aku tidak
dapat menyembunyikan ketakutanku
Dia hanya tertawa, “Tenang. Dia ada di apartemenmu. Tidur dengan
tenang. Nah, kalau kau tidak menyusahkan, besok pagi dia akan terbangun,
dan mencarimu. Dan aku akan ada disana.”
Suara tawanya yang dingin membuatku bergidik, “Kukira kau suka anak-anak.”
“Memang. Yang tak aku sukai adalah wanita jahat yang seenaknya
mempermainkan hati laki-laki, sepertimu!”, teriaknya dengan penuh emosi.
Kemudian seolah tersadar, dia memelankan suaranya, “Kau. Kau akan
merasakan apa akibatnya. Dan kupikir kau berbeda dari kebanyakan
wanita.”
Mataku mulai terasa panas. Aku tak ingin menangis tapi rupanya air
mata yang mengalir ini mengkhianatiku. Aku takut. Dan bahkan aku tak
ingat apa yang telah kulakukan, yang telah melukai perasaannya, sehingga
dia merasa diriku pantas diperlakukan seperti ini.
***
Aku baru saja bercerai, dengan mantan suamiku yang brengsek itu. Dia
meninggalkanku dengan Christy, putri kecilku, dalam keadaan bangkrut.
Setelah meminta sedikit belas kasihan kepada ibuku dan suami barunya
yang pelit yang sekarang tinggal di New Jersey itu, aku akhirnya bisa
menyewa sebuah apartemen kumuh di Woodside, Queens, dan mendapat sebuah
pekerjaan sebagai pelayan di family restaurant. Gajinya tidak besar,
namun dari yang kudengar uang tipnya lumayan. Dengan kerja keras dan
operasi pengetatan ikat pinggang selama setahun ke depan, aku mungkin
bisa melanjutkan kuliahku yang terputus, dan mempunyai masa depan yang
lebih baik.
Christy menatapku dengan mata cokelatnya yang besar dan tersenyum,
“Momma, aku melihat ayunan di taman sana.” katanya di dekat jendela,
menunjuk taman di sebelah apartemen. “Aku mau main disana.”
Aku tersenyum lelah sambil memasukkan baju-baju Christy ke lemari,
“Aku masih harus membereskan ini, Sayang. Aku kan harus mulai bekerja
besok, dan kau akan sekolah. Menyenangkan, bukan?”
Christy menunjukkan wajah cemberut, “Aku bosan. Dan aku kan bisa kesana sendiri. Tidak jauh kok.
“Baiklah. Tapi janji, kau tidak akan bicara atau ikut dengan orang
asing. Kau akan terus di taman, di tempat Momma akan bisa melihatmu,
dari sini. Kalau tidak, tidak ada brownies sebelum tidur. ” ancamku.
Christy tersenyum lebar dan kemudian lari memelukku, sebelum akhirnya
berjalan keluar dari apartemen kami.
Tanpa sadar, sejam berlalu ketika aku melihat jam. Pukul 4 sore.
Ketika aku melirik ke jendela, ke arah taman, kulihat Cristy disana,
sedang duduk di ayunan, mengobrol dengan seorang pria. Jantungku terasa
berhenti berdetak. Aku segera meraih jaket, dan keluar dengan berlari.
Tiga menit kemudian, yang terasa bagai sejam bagiku, dan aku sudah
berlari menuju taman. Untung Christy masih disana, dia tertawa. Aku
sudah lupa bagaimana suara tawanya. Dan aku segera menghampirinya.
“Christy, apa yang kubilang tentang bicara dengan orang asing?” tanyaku panik sambil menatap pria itu.
“Tapi dia tinggal disini kok, Momma.”, kata Christy membela diri. Dan aku menatap pria itu.
Tubuhnya tinggi namun postur tubuhnya bungkuk, dengan sorot mata
lembut. Rambutnya dipangkas pendek, dengan warna pirang kecoklatan.
Wajahnya manis, tapi tipe wajah yang sering tak diperhatikan banyak
orang.
“Hei, maaf membuatmu panik.”, katanya lembut. Suaranya dalam
menyejukkan, “Aku baru pulang bekerja ketika kulihat Christy main
sendirian. Jadi kutemani saja.
Aku mengangguk sambil terengah-engah. “Maaf, aku..”
“Tak apa. Aku mengerti. Namaku Topher. Christopher Sullivan sebenarnya, tapi ayahku biasanya memanggilku begitu.”
“Aku Kim Foster, dan anakku Christy. Maaf, aku benar-benar minta maaf.”
Topher mengangguk maklum lalu pamit berlalu. Christy melambaikan tangan kepadanya.
Christy lalu merogoh sakunya, “Momma, lihat! Topher memberikannya
kepadaku tadi!”, sambil memperlihatkan sehelai daun shamrock yang
berhelai empat.
“Wow, kau harus menyimpannya. Ingat kan apa yang pernah kuceritakan
tentang shamrock berhelai empat?”, tanyaku sambil mengelus rambutnya.
Christy menjerit heboh, “Helai pertama untuk kesetiaan, helai kedua
untuk harapan, helai ketiga untuk cinta, dan yang terakhir untuk
keberuntungan!” Dia lalu berkata dengan penuh semangat, “Topher baik
kok, Momma. Awalnya juga aku takut, tapi kemudian dia mulai ngobrol
tentang Spongebob. Orang jahat gak mungkin suka sama Spongebob kan?”
Aku tertawa terbahak-bahak. “Teori dari mana itu, gadis kecil?”
“Karena Dad jahat, dan dia tak pernah suka sama Spongebob.” jawabnya
polos sambil mengangkat bahu.
Aku terdiam sejenak, namun gadis kecilku itu tersenyum lebar, “Jadi, makan malam hari ini apa?”
Aku terdiam sejenak, namun gadis kecilku itu tersenyum lebar, “Jadi, makan malam hari ini apa?”
***
Aku mengetuk pintu apartemen nomor 303. Pintunya terbuka sejenak, dan wajah Topher mengintip dari balik pintu.
“Ada apa?”
“Maaf..Begini, umm..di tempatku bekerja sedang kekurangan pegawai
karena ada yang tak masuk, jadi aku berencana bekerja 2 shift sekaligus,
dan aku tak bisa menemukan penjaga untuk…”
“Oke, tak masalah.” jawabnya dengan seulas senyum lembut.
“Aku akan membayarmu.”
“Tak perlu. Aku senang dengan Christy, dia gadis yang manis.” katanya lalu membuka pintu lebar-lebar. Tangannya memegang sebotol Guinness, bir hitam Irlandia yang juga kesukaanku. Aku tahu dia tak berbohong mengenai Christy. Sejak itu, Christy memang akrab dengannya.
Aku menatapnya lembut dan kagum, “Ketika kau menikah dan punya anak,
suatu hari nanti, kau akan jadi seorang ayah yang baik..”, tukasku.
Topher hanya terkekeh, “Entahlah..Aku tak berpikir untuk membangun sebuah keluarga saat ini..”
“Tak ada wanita di dalam hidupmu?”, tanyaku spontan dan langsung
menyesalinya. Aku pasti terdengar sangat penasaran, dan rahang Topher
yang mengeras membuktikannya.
“…Aku tumbuh besar dengan ayahku..Ibuku…well, dia bukan wanita
baik-baik…”, katanya pelan dengan kilauan mata yang terlihat aneh,
dingin, dan menakutkan.
Jantungku tersentak sesaat melihat pancaran sinar matanya. Namun
ketika dia berkedip, seketika itu juga dia terlihat lembut seperti
biasa.
Topher tersenyum manis, “Tapi kau berbeda. Kulihat kau sangat
menyayangi Christy. Dan sangat tangguh. Berbeda dari wanita-wanita
kebanyakan yang kukenal.”
Aku tertawa gugup, aneh rasanya menerima pujian, “Mungkin karena kau
mengenal wanita-wanita yang salah. Wanita sepertiku banyak kok,
dimana-mana ada.”
Topher tersenyum begitu lembut, membuatku jantungku berdebar kencang
dan ingin menangis saat dia berkata, “Tapi di apartemen ini hanya ada
satu yang sepertimu.”
Aku mengedipkan mata dengan cepat, mengusir air mata yang datang lalu
cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “Aku sungguh-sungguh berterima
kasih. Aku baru bisa pulang malam, akan kubawakan makan malam.”
“Dan aku akan menyediakan sebotol bir setelahnya. Terdengar seperti
pertukaran yang adil bagiku. Toh hari ini Minggu, dan tak ada yang
sedang kukerjakan.”
Aku tersenyum penuh terima kasih kepadanya. Dia seorang penyelamat. Benar-benar penyelamat.
***
Malam itu, aku diantar pulang oleh salah satu sahabat baruku, yang
juga bekerja di family restaurant. Wajahnya tampan, dengan raut wajah
khas latin. Dia sangat baik, bisa menjadi calon pacar potensial, andai
dia menyukai wanita. Yak, Diego memang seorang gay yang bangga.
“Hari ini pasti sangat melelahkan untukmu.” katanya tertawa, “Lihat
lingkaran hitam di matamu. Tuhan tahu butuh berapa tebal concealer yang
dibutuhkan untuk menutupi semua itu!”
Aku tertawa dan menepis tangannya yang ingin menyentuh wajahnya, “Aku tak punya anggaran untuk kosmetik saat ini, kau tahu itu!”
“Jangan menyesal kalau nanti tak ada seorang pun lelaki yang tertarik padamu. Kau terlihat seperti seekor panda.”
Aku tersenyum sayang kepadanya, “Aku kan punya kau, Diego.”
Diego melengos dan memutar bola matanya, “Yayayaya, terserah kalau
kau ingin punya laki-laki yang tidak bisa membangkitkan gairahmu
sepertiku. Mungkin kita akan berakhir dengan saling mencakar ketika
bertemu cowok ganteng suatu saat nanti…”, katanya lalu tertawa dengan
suaranya yang nge-bass. Dia lalu menoleh ke arah apartemenku, “Seperti
yang disana itu, ya ampun dia manis! Tapi siapa dia, yang melihatku
dengan penuh rasa cemburu?”
Aku menoleh, dan melihat Topher. “Itu tetanggaku yang baik hati, dia yang menjaga Christy malam ini.”
“Dia naksir padamu.”, tegas Diego lalu mengecup pipiku, “Sudah, keluar sana!”
“Kuharap juga begitu, karena aku mulai menyukainya.”, jawabku sambil tertawa, memeluknya dengan penuh rasa terima kasih, dan keluar dari mobil. Menenteng bungkusan berisi mie wijen dingin dan kung pao chicken. Janji makan malam untuk Topher.
“Kau tidak perlu menungguku disini.” tegurku sambil tersenyum lebar. Raut wajah Topher seketika itu berubah menjadi lembut lagi.
“Tak apa, Christy sudah tidur. Kami menonton film kartun dan mewarnai tadi.”
“Benarkah? Film apakah itu?” tanyaku sambil menyerahkan bungkusan itu kepadanya. Topher menyerahkan sebotol bir hitam sebagai gantinya. Di tangannya lain juga ada botol yang sama.
Topher menerimanya dan mengintip ke dalamnya, “Yang ada di dalam dvd playermu. Toy Story.”
“Kuharap dia tak memaksamu menontonnya hingga 3 kali berturut-turut.”, balasku sambil tertawa mengingat kebiasaan Christy.
“Tidak, hanya 2 kali.”, jawabnya pendek dan aku tertawa terbahak-bahak ketika kemudian masuk ke dalam lift tua bersamanya.
“Benar kata Christy. Tak ada orang jahat yang menyukai Spongebob, apalagi tahan menonton Toy Story 2 kali berturut-turut. Kau orang baik. Sangat baik. Terima kasih.”, pujiku sambil tersenyum manis kepadanya.
Raut wajahnya berubah. Ekspresinya berubah gelap, dan tahu-tahu,
terdengar suara hantaman dan botol yang pecah. Cairan hangat mengalir
dari sisi kepalaku. Dan kemudian dunia menjadi gelap.
***
“….Diego itu sahabatku…”, kataku lirih ketika akhirnya ingat kejadian terakhir yang terjadi dalam hidupku.
“Pembohong. Ibuku juga berkata begitu pada ayahku, sebelum dia berakhir menjadi mayat.”, jawabnya dingin.
“Apa yang terjadi pada ibumu?”
“Pelacur itu? Tidak ada. Hanya berteman terlalu akrab dengan seorang pria rendahan. Dan berakhir mati seperti dirimu sekarang.”
Aku bergidik, “….Apa…?”
“Semua perempuan itu pelacur. Kukira kau berbeda, karena kau terlihat begitu sayang pada Christy..”
“Aku memang menyayanginya…”
Topher bangkit berdiri dan mulai mengasah pisaunya dengan logam asahan, dengan sikap profesional, yang membuat nyaliku ciut.
“Kau tahu? Mungkin aku akan memelihara Christy, karena aku menyayanginya. Aku akan mendudukannya di ujung ruangan, dan belajar dariku bagaimana caranya menghukum pelacur-pelacur sepertimu. Sama seperti ayahku mengajariku dulu.”
“…kau tak bisa melakukannya, kumohon…”, cicitku dengan suara serak menahan jerit.
Sinar mata Topher terlihat lembut sekaligus gila, “Fakta tentangku : Ketika ayahku menghukum ibuku dulu, aku masih seumuran Christy. Aku duduk disana.”, katanya sambil menunjuk ke arah kursi kayu gompal dan tua, tempatnya duduk ketika aku pingsan, “Ayah terpaksa harus mengikatku dan menutup mulutku supaya aku tak teriak. Itu pelajaran pertamaku. Dan saat-saat aku dilahirkan kembali.”
Aku menatapnya dengan penuh kasihan. Dia juga korban. Korban yang sekarang akan membunuhku, “…aku minta maaf soal itu…”
“Mungkin sebaiknya kubangunkan Christy untuk pelajaran pertamanya?”, tanyanya pelan kepada diri sendiri.
Aku akhirnya menyerah. Aku menangis terisak-isak. Aku ingin berteriak. Tapi aku tak yakin ada yang akan mendengarkanku. “Jangan lakukan itu..Biarkan Christy tinggal bersama ibuku. Setidaknya itu yang bisa kau lakukan, jika kau menyayanginya.”, kataku memohon namun wajahnya menampilkan ekspresi jijik.
“Pelacur takkan membuatku merasakan kasihan. Selamat tinggal.”, katanya dingin lalu membuka selubung plastik dengan cepat dan menyurukkan celana dalamku ke dalam mulutku, agar aku tak bisa teriak. Aku tersedak dengan kain itu, namun Topher melakukan sesuatu yang tak kuduga. Dia membelai wajahku kemudian mengecup keningku dengan lembut. Aku merasa dicintai, sekaligus dibenci. Gila memang kedengarannya. Dia lalu segera menutup kembali wajahku dengan plastik, dan kemudian….
“Demi Christy, aku akan mencekikmu hingga mati sebelum memotong-motong tubuhmu. Anggap itu sebagai rasa sayangku padanya.”, katanya dingin dengan mata yang berkilat-kilat.
0 komentar: