Movie Review : Confession
Confession (2010)
Director : Tetsuya NakashimaScreenplay : Tetsuya Nakashima based on novel by Kanae Minato
Cast : Takako Matsu, Makasi Okada, Yoshino Kimura, Yukito Nishii, Kaoru Fujiwara, Ai Hashimoto
Terpilih sebagai wakil dari Jepang Best Foreign Language Film di ajang 83th Academy Awards dan menempati tempat ketujuh dalam film terlaris di Jepang tahun 2010 hanyalah sedikit dari pencapaian dari Confessions. Dengan tema utama mengenai balas dendam, dan sedikit banyak menyinggung mengenai tema bullying, sistem pendidikan, Juvenile Law, budaya bunuh diri hingga ke Oedipus Complex, menurut gue ini adalah salah satu film wajib tonton buat lo yang suka dengan drama psikologis dengan tema yang tak biasa. Maybe you’ll ended up love it or hate it. Just enjoy the roller coaster’s of emotion!
Dirilis tanggal 5 Juni 2010, berdasarkan novel berjudul sama karya pertama Kanae Minato, Confessions dimulai ketika Moriguchi-sensei (Matsu) membuat pernyataan mengejutkan mengenai kematian putrinya, Manami, yang ternyata dibunuh oleh 2 orang muridnya sendiri. Moriguchi menyebut mereka sebagai A dan B, dan tak lama kemudian semua murid menyadari identitas dari A dan B. Moriguchi mengakhiri dengan pernyataan mengejutkan bahwa dia telah menyuntikkan darah yang mengandung virus HIV ke dalam kotak susu A dan B. Selesai disitu? Tidak. Karena ini hanyalah awal dari balas dendam Moriguchi. Dan sepanjang film berlangsung, lo akan terhenyak, terguncang, sekaligus menghela nafas kagum dengan lapisan twist-twistnya dan ceritanya yang terjalin dengan rapi, plus ending yang mencengangkan.
Di salah satu review yang gue baca, Confessions bahkan dijuluki Oldboy 2.0. Temanya sama-sama mengenai balas dendam. Sama-sama ‘sakit’ juga sih. Bedanya, kalo Oldboy lebih action-packed dengan twistnya yang menggila, Confessions lebih detail dan terasa personal (for me, at least) dengan pendekatan narasi dari masing-masing points of view karakternya : Moriguchi, ibu Naoki (Kimura), Shuya (Nishii), Naoki (Fukiwara), dan Kitahara (Hashimoto). Endingnya sama-sama jenius dan menyayat hati. Dua-duanya brillian di mata gue, sama-sama ‘sakit’ dan membuat gue mempertanyakan sejauh apa yang akan dilakukan oleh seseorang demi membalaskan dendamnya.
Dari segi akting, semuanya memukau. Terutama Takako Matsu. Aktingnya sebagai seorang guru sekaligus single mother yang kehilangan anak satu-satunya begitu menyentuh. Ketika dia tertawa histeris, menangis, bahkan tersenyum dingin begitu meyakinkan dan menakutkan, membuat gue bisa memaklumi caranya membalas dendam yang tak lazim. Sebagai lawan utama Matsu, ada aktor cilik Yukito Nishii. Perannya sebagai seorang murid SMP jenius yang haus perhatian bener-bener menipu gue. Gila, sakit, sekaligus bikin miris. Pemain lainnya juga berakting sesuai porsi, saling mengisi, dan sama-sama bersinar sepanjang durasi film. Seperti Kimura yang berperan sebagai ibu Naoki yang over protective dan Naoki’s oriented sekali juga Hashimoto sebagai Mizuki yang kalem, sedikit sakit, tapi lovable.
Di sisi lain, gaya penyutradaraan Nakashima begitu indah, dengan tone warna kelabu yang mendominasi sepanjang durasi film. Saking indahnya, ada beberapa scene yang terlihat seperti lukisan. Indah sekaligus kelam. Dan pada beberapa scene yang di slow-motion…indah (udah berapa kali gue ngetik kata ‘indah’ di review ini ya -__-) sekaligus kelam. Menggambarkan mood dan tone filmnya secara keseluruhan. Score filmnya sendiri turut berperan penting dalam membangun mood depressing. Terutama lagu Radiohead – Last Flower yang mendominasi bagian-bagian penting, menjadi nyawa keseluruhan dalam Confessions. Bikin galau ga ketulungan. Ampun.
Tapi dari seluruh kelebihannya, tentu ada beberapa bagian yang kurang kena buat gue. Salah satu scene terakhir yang dishoot secara slow-mo plus flash back, menurut gue, agak gak cocok sama filmnya keseluruhan, plus over-dramatisasi (belom baca novelnya jadi ga bisa membandingkan, atau memang adegannya dianggap perlu ada). Indah. Tapi agak kurang masuk di akal gue. Juga, karena filmnya kebanyakan bertutur dari sudut pandang tokoh tertentu, kebanyakan adalah narasi, buat kebanyakan orang bisa jadi membosankan. Plus, filmnya sendiri bikin depresi (udah dibuktikan sendiri sama adek gue, yang begitu kelar nonton berujung migrain dan bad mood). Just like I said earlier, you’ll ended up loving it or hating it.
For me, revenge is a sweet thing, kalo dilampiaskan secara positif. With these things happened in my life, gue belajar lebih legowo dan itu tadi, melampiaskan rasa marah gue buat sesuatu yang konstruktif dan positif. Toh, gue sendiri terkadang tercengang sendiri dengan sisi gelap dari gue yang bisa begitu aktif membenci, apapun itu. Melelahkan. Pada beberapa orang, balas dendam bisa membawa lo ke banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Sakit. Sekaligus adiktif. Tapi, andaikan gue ada sisi Moriguchi, mungkin gue akan mengambil jalan yang sama. Mungkin tidak. Entahlah. Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah balas dendam itu adalah benar?
Satu hal yang pasti, buat gue Confessions jelas-jelas adalah film terbaik rilisan tahun 2010 (bahkan mengalahkan TSN, buat gue lho ya!). The movie itself is so dark, yet edgy and beautiful. Again, if you haven’t watch it yet, go find it. You’ll ended up loving it. Or hating it.
Official Trailer :
0 komentar: