Antara Rasa dan Kenangan Masa Lalu
Konon katanya kalau sudah menyangkut masalah cita rasa makanan, lidah tak bisa bohong. Walau mudah mengeluarkan kata-kata manis penuh kebohongan, namun toh lidah tak akan pernah mengatakan nasi campur selai nutella itu enak. Setidaknya bagi lidah saya.
Enak atau tidaknya sebuah makanan, itu lain cerita. Terkadang dari sebuah rasa yang menyentuh lidah, akan tersimpan sebuah memori, kilas balik adegan kehidupan di masa lampau. Mengingatkan akan sebuah kesan yang tak terlupakan.
Adik saya hingga saat ini tak pernah menyentuh menu pancake, bahkan di restoran sekaliber Pancious atau Nanny's Pavilion sekalipun. Alasannya sederhana, saat ia kecil dulu, saya pernah memaksanya mencicipi pancake racikan sendiri. Begitu memuakkannya hingga ia trauma hingga kini.
Perasaan nyaman selalu muncul ketika saya menikmati semangkuk mie rebus kuah dengan taburan bawang daun. Takaran yang pas antara kuah, kekenyalan mie, dan renyahnya bawang daun selalu berhasil membuat saya ada di rumah, terlindung nyaman dan tertawa bahagia. Lidahlah yang mengirim sinyal ke otak akan rasa itu.
Seminggu lalu, saya mengunjungi sebuah restoran vegan bersama kekasih di bilangan Semanggi. Lidah saya menggelepar ketika mencicipi hidangan berbagai jamur yang menjadi raja utama disana.
Namun sebuah memori mengenai masa bersekolah di kota Makassar muncul ketika saya menyeruput soymilk yg memiliki rasa yg sama persis dengan air tahu yang dulu saya sering minum di pinggir jalan saat panas terik. Dahulu harganya seribu perak segelas. Kini segelasnya sudah sepuluh kali lipatnya. Namun kenangan itu masih tetap sama.
Persis seperti Anton Ego, kritikus makanan fiktif di film animasi Ratatouille, yang kontan bisa menjadi begitu tersentuh saat mencicipi hidangan masa kecil yang biasanya dibuat oleh sang ibu. Begitu pula yang terjadi pada saya. Bahwasanya sebuah rasa dapat membangkitkan kenangan dengan sangat kuat, seolah memutarkan sebuah adegan dalam film yang pemerannya adalah diri kita sendiri.
0 komentar: