Porcelain Doll
Aku menatap keluar dari jendela. Pemandangan ini selalu membuatku bergidik sekaligus kagum. Danau itu seolah memanggilku untuk berenang ke dalamnya, di bawah naungan pohon beringin tua, yang akar-akarnya mencuat keluar dari tanah seperti tangan-tangan raksasa. Suasananya begitu khidmat. Sekaligus mistis.
Terdengar suara gemersik dibelakangku. Aku berbalik dan mengibaskan rambut panjangku yang berwarna coklat. Dan menatapnya. Menatapnya perlahan terbangun dari tidurnya.
Perasaanku membuncah. Tusukan rasa sakit menghujam hatiku, yang kukira sudah mati rasa. Aku tak kebal oleh rasa sakit, ternyata. Kukira aku sudah terbiasa, sudah menerima bahwa ini adalah bagian dari hidupku. Nyatanya tidak.
“Kalau boleh aku bertanya, mengapa kau membiusku dan mengikatku disini?”, tanyanya tenang. Tak ada tanda-tanda kepanikan. Ketakutan. Yang biasanya akan selalu muncul pada manusia normal manapun. Apapun itu.
Aku mengikat rambut panjangku lalu duduk di sebelahnya. “Ada hal yang ingin kupastikan darimu, Ayah.”
Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya. “Sudah kuduga, hari ini akan datang.”
“Sudah kauduga?” Aku merasa marah. Dia sudah menduga aku akan memperlakukannya seperti dia memperlakukan korban-korbannya? Tidak. Korban bukanlah kata yang tepat. Penjahat. Orang yang pantas dihukum.
Dia hanya tertawa kecil. Tawa kecilnya, yang telah menemaniku selama 12 tahun terakhir. Sejak mengenalnya di taman apartemen kumuh tempatku tinggal bersama ibuku, sebelum dia menghilang dari hidupku selamanya.
Mataku tersengat hawa panas ketika mengingatnya. Selapis air mata meliputi mataku. Ayah hanya tertegun lalu berkata pelan, “Sudah lama kau tak menangis, Christy.”
Aku menggelengkan kepala, berharap air mata itu hilang. “Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ayah. Kuharap kau menjawabnya dengan jujur.”
Ayah menatapku dengan sinar mata yang tak dapat terbaca lalu kemudian menggumam, “Baiklah”.
Aku menarik nafas panjang. “Jelaskan padaku, mengapa kau menghukum Nick?”
“Karena dia pantas mendapatkannya.”
“Memangnya apa yang dia lakukan, hah?!”, teriakku marah. Aku nyaris tak pernah marah. Tak pernah ada emosi yang bergejolak tergambar di wajahku. Itulah mengapa semua orang memanggilku boneka porselen.
Rahangnya mengeras ketika ia menjawab, matanya terlihat dingin, “Pertama, karena dia sudah terlalu sering membahayakan kita. Dia terlalu emosional.”
Aku meringis. Ya, Nick memang mudah tersulut amarah. Bahkan caranya menghukum penjahat berbeda dengan Ayah. Ayah sangat rapi. Sangat terorganisir. Apapun yang dilakukannya terencana dengan matang. Sementara Nick sangat mudah terdorong suasana hati. Dan berantakan. Darah merah berbau amis membasahi tubuhnya, hingga membanjiri seluruh lantai adalah pemandangan yang biasa kulihat darinya. Aku ingat menghabiskan hari liburku hanya untuk membersihkan dan memastikan tak ada jejak darah tersisa di lantai dan dinding. Bau amin darah dari pori-pori tubuhku tak bisa hilang, tak peduli berapa kali aku menggosokkan sabun ke tubuhku.
“Tapi dia baik, Ayah. Tanpa dia, kita tidak mungkin punya tempat eksekusi sebagus dan seterpencil ini. Aku menyayanginya.”, jawabku dengan suara bergetar. Ya, pondok kayu ini, dengan danau besar dan pohon beringin adalah miliknya. Aku ingat terakhir kali dia disini. Kami menghabiskan waktu mengambang di danau, menatap langit dengan sinar matahari yang merembes melalui dedaunan yang hijau dan lebat.
Ayah mendengus, “Tentu saja kau menyayanginya. Kalian berciuman seperti sepasang kekasih bodoh. Menjijikkan.”
Aku menjerit marah lalu meraih pisau besar di atas meja dan menyabetkannya ke tubuh Ayah. Ayah mendesis kesakitan ketika sebuah luka terbuka di dadanya dan darah mengalir dan membasahi plastik. “Kau tak punya hak mengatakan itu!”
“Tentu saja aku punya. Aku ayahmu. Aku penciptamu. Dua belas tahun kuhabiskan waktu untuk mendidikmu, menyayangimu. Kau anakku yang cantik, hasil didikanku yang terbaik. Mana aku rela melihatmu diambil oleh Nick? Dia lebih tua darimu!”
“Memangnya kenapa kalau dia lebih tua dariku?!”, jeritku marah.
“Dua puluh tahun lebih tua adalah kejahatan, Christy! Dia akan membawamu pergi dariku! Aku hanya melakukan tugasku untuk melindungimu!”, teriaknya dengan emosi tersulut. Dia nyaris tak pernah meledak marah. Kemarahannya selalu terarah pada hasil akhir. Dan dingin.
Aku menggeleng, tahu itu tak benar. Nick tak mungkin melakukannya! “Kau hanya tidak mau kehilanganku!”
“Tentu saja! Kau anakku! Ciptaanku! Bonekaku! Aku yang berhak mengatur hidupmu!”
Pecahlah sudah tangisku. Sudah lama aku tak menangis seperti ini lagi. Kenangan itu mengiris hatiku. Lgi dan lagi. Seringai Nick kapanpun dia sedang senang. Sosoknya ketika sedang memasak. Rambut pirangnya yang terkena sinar matahari. Bulu mata indahnya yang panjang menyapu pipi atasnya ketika ia menutup mata. Tubuh indahnya. Seluruh eksistensinya. Aku sadar betapa aku merindukannya.
“Cinta adalah hal bodoh yang tak pernah ada, Christy. Itu hanyalah sebuah khayalan. Hal yang tidak nyata.
Jangan biarkan dirimu tersakiti oleh hal seperti ini.”, katanya pelan ketika akhirnya aku mengusap air mata dari pipiku.
Aku merasakan kebencian yang mendalam melihatnya. Tahu apa dia? Dengan penuh perhitungan aku menghujamkan pisauku ke sisi tubuhnya. Aku tahu aku menusuk paru-parunya. Dia akhirnya menjerit kesakitan.
“Tenanglah, Ayah. Pengadilan belum selesai. Sampai aku selesai menuntut jawaban darimu, aku tak akan menghabisimu.”
Ayah meronta kesakitan dan tubuhnya bergerak-gerak kencang. Aku sempat khawatir dia akan terjatuh dari meja stainless besar ini dan ikatannya terlepas. Kekhawatiran bodoh, sebenarnya. Dia mengajariku dengan baik tentang semua yang ia ketahui tentang cara membunuh. Dan juga penyiksaan. Aku muridnya yang terbaik.
Ayah lalu tertawa getir menahan sakit. “Ya Tuhan, apa yang telah kuciptakan?”, tanyanya pada diri sendiri. “Aku tak pernah mengajarimu menyiksa seperti ini. Semua penjahat itu tahu apa kesalahan mereka. Aku tak pernah memaksa mereka mengakui apa yang mereka lakukan. Kau lebih sakit dibandingkan denganku, Christy. Di balik wajah cantik tanpa ekspresimu itu bersembunyi seekor monster. Aku bahkan tak pernah melihat ini sebelumnya. Kau menyembunyikannya dengan sangat baik.”
“Terima kasih, Ayah. Kau mengajariku dengan baik.” Aku bisa mendengar suaraku sendiri dengan tenangnya menjawab hinaannya. Dia yang akan berakhir jadi mayat, bukan aku. Dia ketakutan. Dia bisa mengatakan apapun yang ingin dikatakannya.
“Ada hal penting lain yang ingin kuketahui. Katamu, cinta adalah omong kosong tak nyata. Lalu, mengapa kau mengambilku dan meperlakukanku sebagai anakmu? Kau selalu bilang kau menyayangiku, tapi kita tahu itu bohong. Apa bagimu aku ini hanya sebuah boneka cantik untuk dipajang di atas perapian?”
Wajahnya lalu pias, pucat mendengar pertanyaanku. Dia tak menyangka aku akan pernah bertanya tentang ini.
“Ada satu hal yang selalu kusembunyikan darimu selama ini. Ini mengenai ibumu.”
Tubuhku menegang seketika. Ini mengenai Momma, yang menghilang tanpa jejak. Hanya meninggalkan seuntai liontin berisi fotoku yang selalu dipakainya. Tak pernah dilepaskannya.
“Liontinnya…” Aku menyentuh liontin kuno yang tergantung di leherku. Aku ingat ketika Momma tak jua kembali, ayah datang dan memberiku liontinnya. Katanya Momma menitipkannya untukku, tanpa memberitahu dia akan pergi jauh. Seketika aku sadar, apa yang telah disembunyikan ayah selama ini.
Aku menjerit histeris ketika menyadarinya. Kemarahanku membuncah, terasa membakar seluruh tubuhku. Aku melemparkan pisau ke seberang ruangan. Aku meraih meja dan membalikkannya dengan sekuat tenaga. Barang-barang di atas meja jatuh dengan bunyi berisik. Aku menjerit sembari mencakar-cakar pipiku sendiri. Aku mengamuk bagaikan orang yang kehilangan akal.
Momma…Momma mati dibunuh. Seharusnya aku sudah bisa menebaknya. Sejak dulu. Aku tahu Momma tidak mungkin pergi meninggalkanku sendirian.
“Kau membunuh Momma! Untuk hal yang aku sendiri tak mengerti. Dia bukan wanita murahan seperti yang selalu kau hukum! Kenapa? Kenapa kau membunuh Momma?! Kenapa kau membawanya pergi dariku?!”
Ayah meneguk ludahnya, terlihat begitu takut sekarang. Aneh. Aku tak pernah melihatnya takut atas apapun. Bahkan tidak ketika polisi menemukan kepala Becca, pelacur yang menjadi ‘korban’ pertama Nick.
Aku mendekati kepalanya, mencengkram kepalanya dengan kedua tanganku, memaksanya menatapku. “Lihat aku, Ayah. Kalau kau tak berhenti mengalihkan pandanganmu dariku, aku bersumpah, aku akan menggunting kelopak matamu.”
Akhirnya dia berhenti bergerak dan menatapku. Tatapan matanya layu sekarang. Kelelahan dan kesakitan. Tubuhnya sudah lengket dengan darah yang membasahi plastik pembungkus.
“Bolehkah aku memohon ampunanmu, Christy?”
“Mengapa kau membunuh Momma, Ayah?!” Aku bisa merasakan rasa perih di pipiku, suaraku serak. Namun setelah amukan barusan, anehnya aku merasa sedikit tenang.
Ayah menghela nafas untuk menahan sakit. Ketika ia berbicara, suaranya bergetar, “Belum pernah aku merasa menyesal seumur hidupku, Christy. Ayahku selalu mengajarkanku untuk percaya, bahwa mereka memang pantas dihukum. Pelacur. Mereka hanya bisa menyakiti perasaan kita. Tak seharusnya mereka dibiarkan hidup.”
Suaranya menghilang sejenak digantikan oleh lenguhan penuh rasa sakit. Kemudian ia berbicara lagi, ” Ibumu berbeda. Hidup telah mengkhianati dan menyakitinya, tapi dia bisa dengan mudahnya mengangkat dagu dan menghadapi dunia. Dia dengan begitu naifnya, mengira dunia ini berisi kebaikan. Begitu bodohnya…”
“Aku merasakan hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku menyayanginya. Juga dirimu. Aku kadang kaget sendiri, membayangkan diriku memeluknya. Mencincang tubuh orang yang menyakitinya. Namun, ketika aku melihatnya memeluk seorang pria di dalam. Mobil, aku marah. Aku tahu, ternyata dia tak jauh beda dengan pelacur-pelacur lainnya. Aku cemburu. Aku mencekiknya hingga mati.”
Tetesan air mata mengalir lagi dari mataku ketika mengingat Momma. Aku sudah lupa seperti apa wajahnya. Kenangan tentangnya makin buram seiring dengan berlalunya waktu. Tapi aku masih bisa mengingat pelukan hangatnya. Tawa merdunya ketika aku mengatakan sesuatu yang lucu.
“…Hal terakhir yang ia pinta dariku adalah untuk tidak membuatmu menjadi seperti diriku. Dia tak keberatan mati di tanganku, selama aku tak menyakitimu. Aku sadar telah melakukan kesalahan fatal ketika teman ibumu itu datang mencarinya.” Ayah tertawa masam ketika mengingatnya, “Bayangkan, pria tampan keturunan latin yang ternyata seorang homo. Aku membunuhnya juga, tentu. Dia mencurigaiku. Aku dalam bahaya besar. Dan aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku karena membunuh ibumu sejak saat itu.”
“Lalu kenapa, kenapa kau tak melepaskanku? Kenapa kau menyeretku ke dalam semua kegilaanmu? Tak sadarkah kau, bahwa aku mungkin saja bisa hidup normal?”
Ayah menatapku dengan sinar mata lembut. Sinar mata yang membuatku selalu merasa aman, tak peduli bahkan ketika saat itu dia baru saja memotong kepala seseorang di depan mataku. “Karena kau mengingatkanku pada dirinya. Seolah dia masih ada disini, menatap kita berdua dengan ketakutan, tapi tak pernah pergi menjauh.”
Dan begitulah, beberapa bulir air mata mengalir dari mata birunya. Aku mengelap pipinya yang basah lalu mengecup bibirnya.
Ayah menatapku lama kemudian tersenyum lemas dengan wajahnya yang pucat pasi, “Aku tak menyesal menghabisi Nick. Aku tak peduli bahkan kalau kau akan mencincangku hidup-hidup. Dia memang pantas mati. Dan aku tak akan berteriak ketakutan memohon ampunanmu. Aku tahu, aku pantas menerimanya. Aku memohon ampunanmu atas dosaku membunuh ibumu, satu-satunya wanita yang ternyata kucintai. Terima kasih, telah membuatku merasa seperti manusia normal, bisa merasakan apa rasanya menjadi seorang ayah. Aku tak menyesal telah menciptakanmu.”
Aku membelai-belai wajahnya untuk terakhir kalinya sambil menangis. “Lucu, aku tak pernah mengira bisa merasakan perasaan benci sekaligus sayang terhadap orang sama. Selamat tinggal, Ayah.”
Aku berenang mengambang di danau, dengan kepala menghadap ke arah langit. Menatap langit malam yang bertumpahkan bintang. Tanpa kehadiran sang bulan, malam ini merekalah sang idola dari jutaan makhluk yang menatap malam. Tanpa harus takut kalah bersinar. Bagiku, jutaan bintang itu bagaikan manusia, yang normal dan hidup tenang. Bodoh. Naif. Dan akulah sang bulan. Yang mengambil alih malam. Yang membunuh sinar mereka. Tapi di langit malam yang begitu luas, aku tetap hanya sendirian.
Aku tetaplah seekor monster yang diberkahi topeng wajah cantik. Dengan parasku, aku akan selalu berada di dalam sorotan lampu. Menjadi pusat perhatian. Tapi aku sudah terlalu rusak untuk kembali hidup normal. Bagaikan boneka porselen dengan wajahnya yang retak. Ketika kau melihatku dengan seksama, aku akan terlihat sangat menyeramkan. Tapi tidak. Aku tak berniat untuk berubah menjadi bintang, menjadi normal namun bodoh. Tidak. Hanya ini satu-satunya jalan hidup yang kutahu. Dan yang kutahu sekarang, aku sendirian. Tanpa Nick. Tanpa Ayah. Dan tanpa Momma. Sendirian. Selamanya.
~~~~
August, 22nd 2012
0 komentar: