Suku Mosuo Yang Anti Pernikahan & Monogami
Suka atau tidak suka, bagi masyarakat kita yang masih menganut sistem budaya patriarki, kaum wanita masih diidentikan sebagai kaum kedua setelah pria. Mungkin akan banyak yang membantah pendapat saya ini, tapi coba deh perhatikan sekeliling kita. Iklan-iklan di media massa masih menampilkan wanita sebagai kaum marjinal. Walau kita sudah sedemikian maju, masih banyak kok yang menempatkan pria sebagai subjek dan wanita sebagai objek. Kadang, saya suka sedih ketika mendengar fullhouse mom menyindir pilihan working mom untuk bekerja dan meninggalkan anak-anaknya di rumah. Apalagi kalau mendengar kasus saya, sudah kuliah sambil bekerja, ketemu sama anak pun sulit!
Jujur saja, sebagai seorang wanita, tentu saja saya masih punya impian memiliki pasangan dan pernikahan yang langgeng dan 'happily ever after'. Salahkan pada film-film animasi Disney atau novel-novel Harlequin yang rajin saya santap, tapi setidaknya jauh di dalam hati, saya masih berharap memiliki pangeran berkuda putih versi saya sendiri (bukan, tolong jangan bandingkan dengan calon presiden yang gemar berkuda itu ya!).
Belum lagi, ada tuntutan bagi wanita di usia tertentu untuk bisa segera menikah dan berkeluarga. Saya lupa, pernah ada sebuah film yang rilis di Indonesia yang menceritakan hal serupa. Ketika sang wanita sudah berpendidikan tinggi dan memiliki karir gemilang, namun harus mencari calon suami sedemikian rupa melalui adegan-adegan yang terbilang konyol. Memang benar, bila bicara melalui konteks agama, pencapaian terbesar wanita adalah menjadi istri dan ibu yang baik dan patuh. Tapi tak lantas ketika ada seorang wanita yang masih memilih sendiri lalu selalu disindir untuk mencari pasangan kan?
Saya sendiri baru tahu, di pedalaman Cina, ternyata ada sebuah kelompok minoritas yang menganut sistem matrilineal dan bahkan tidak mempercayai pernikahan sebagai sebuah bentuk norma sosial. Suku yang bernama Mosuo ini tinggal di Danau Lugu, hidup dari pariwisata, beternak dan bercocok tanam. Di kaum inilah, wanita hidup sebagai subjek. Mereka yang meneruskan nama keluarga, mereka yang menerima warisan. Kaum prianya sendiri tinggal di rumah orang tua mereka sampai mereka mati.
Uniknya lagi, kaum Mosuo tidak mempercayai monogami dan pernikahan. Yang mereka praktekkan adalah sistem pernikahan berjalan. Jadi, seorang wanita disana diperbolehkan untuk memiliki anak dari beberapa pria yang berbeda. Mungkin kalau dijabarkan ke dalam istilah tertentu, namanya 'open relationship'. Tak ada janji untuk tinggal bersama sehidup semati. Kepercayaan ini dipercaya akan lebih membawa kehidupan yang lebih selaras dan damai, berbeda dengan kisah-kisah perselingkuhan yang sering kita dengar.
Budaya setiap daerah tentu berbeda. Dengan cara-caranya sendiri, Suku Mosuo mungkin memiliki keruwetan masalah hidup yang tidak akan pernah saya alami di negara ini. Tak terbayangkan saja, jika saya harus hidup disana, dengan semua rasa haus akan romantisme ini, malah jadi makan hati sendiri. Makan hati, karena walau saya naksir pria Mosuo setengah mati, norma setempat yang berlaku mengijinkan mereka untuk bersama dengan siapapun yang mereka suka. Tak ada eksklusifitas antara pria dan wanita. Saya sih tidak mau.
0 komentar: