Movie Review : Hunger
Hunger (2008)
Director : Steve McQueen
Screenplay : Enda Walsh and Steve McQueen
Cast : Michael Fassbender, Liam Cunningham
One good thing leads to another things. Akuilah, suka atau tidak suka, menonton film adalah salah satu pengalaman yang memperkaya wawasan dan pengalaman. Memanjakan mata dengan keindahan visual gambar yang bergerak. Mengaduk-aduk pikiran dan emosi dengan cerita dan karakterisasi yang beragam. Kaya sekali bukan?
Sejak menonton Shame beberapa bulan lalu, praktis gue menjadi seorang Fansbender (fans Fassbender, lol), baik dari kemampuan aktingnya maupun penampilan fisiknya, dan gue seolah mengejar ketertinggalan untuk menonton semua film yang ada Fassy di dalamnya. Hunger adalah salah satunya, kerjasama pertama Fassy dengan McQueen sebelum Shame. Dan gue menonton film ini tanpa mengeset ekspektasi apapun, bahkan sengaja untuk tidak mencari tahu lebih banyak soal latar belakang dari Hunger, peristiwa 1981 Irish Hunger Strike.
Tayang perdana di festival film Cannes pada 15 Maret 2008 dan memenangkan kategori Caméra d’Or, Hunger bercerita mengenai kehidupan Bobby Sands (Fassbender), seorang anggota IRA yang turut serta dalam “Blanket and Dirty Protest” yang dipimpin Brendan Hughes yang menuntut untuk diberikan status politik. Sayangnya, protes yang berlangsung selama 5 tahun ini kemudian gagal. Sands kemudian memimpin bentuk protes yang berikutnya, yaitu mogok makan selama kurang lebih 7 bulan. Dan selama 90 menit berlangsung, gue dibuat terhenyak, meringis, sekaligus menangis oleh dramatisasi dan transformasi Bobby Sands ini.
Seperti Shame, Hunger juga minim dialog. Satu-satunya scene yang penuh dengan dialog adalah ketika seorang pendeta (Cunningham) berdialog dengan Sands dan mencoba membujuknya untuk tidak melakukan mogok makan ini. Scene itu sendiri dishoot secara non-stop selama 17 menit. Sisanya? Kita akan melihat secara detail menjijikan mengenai “Blanket and Dirty Protest” juga “Second Hunger Strike” yang dilakukan Sands.
McQueen, yang juga menulis skenarionya bersama Walsh secara konsisten memberikan kita gambaran yang indah sekaligus menjijikkan. And it’s disturbing. Penggambaran secara detail kehidupan penjara di Hunger bahkan membuat The Shawshank Redemption terlihat bagaikan surga (bagi para napi, tentu). Menonton pria-pria telanjang yang diseret dan disiksa oleh para sipir, atau ketika mereka mengoleskan dinding dengan kotoran mereka sendiri bukanlah sebuah pengalaman yang menyenangkan, gue akui.
Tapi, secara tidak langsung, penggambaran yang begitu disturbing tadi menjadi kekuatan utama dari film ini sendiri. McQueen, sejauh dari yang sudah gue tonton di Hunger dan Shame, punya kemampuan luar biasa untuk mengangkat tema-tema tidak biasa yang bahkan membuat gue berteriak frustasi di dalam kepala gue sendiri. Gue setuju dengan pendapat seorang teman. Pertanyaan terbesar untuk McQueen bukanlah “Hebat ya, kok terpikir untuk membuat film begini?” melainkan, “Kok ada ya yang mau buat film seperti ini?”
Aspek kedua dari keberhasilan film ini, tentu saja ada di tangan Fassbender.
Aktor penuh totalitas, yang sekarang menjadi kesayangan McQueen. Kalau dalam Shame, gue dipaksa untuk melihat totalitas Fassy bermain dengan emosi dan mimik wajahnya yang masih menghantui gue sampai detik ini, di Hunger kekuatan utamanya ada pada penurunan berat badannya yang drastis. Begitu menjelang ending, gue gak bisa ga meringis, merinding, dan menangis melihat transformasi tubuhnya. Mungkin ini hal yang biasa, seperti yang dilakukan Bale di The Machinist. But you have to watch it by yourself. It’s a nightmare.
Overall, Hunger is another great performance by Fassbender. It breaks your heart and your soul into pieces. It is amazing, disturbing, and depressing. Kalau ditanya, gue lebih memilih Shame sebagai favorit gue. Hunger sangat segmented, bukan tipe film yang bakalan disukai banyak orang. I’ve warned you. Tapi gue gak menyesal menonton Hunger. Toh, seperti yang gue tulis diawal tadi, filmnya sendiri memperkaya pengalaman gue. Visualisasi frontal dan scene-scene disturbing hanyalah bonus. Dan tidak, Hunger tidak membuat gue kapok menonton karya McQueen yang begitu kuat dengan aroma depresi dan rasa frustasinya. Gue justru sangat menantikan karya kolaborasi McQueen-Fassy selanjutnya, Twelve Years A Slave.
Ya, gue menantikan saat-saat gue berteriak frustasi ke diri gue sendiri itu. Pertanyaan yang sama : Kok ada orang yang kepikiran untuk membuat film seperti ini?
Official Trailer :
0 komentar: