Review : 9 Summer 10 Autumns ( 2013 )

10.06 Indanavetta 2 Comments

 9 SUMMERS 10 AUTUMNS
Sebuah pengingat akan mimpi dan pengharapan

Director: Ifa Isfansyah

Screenplay: FajarNugroho, Ifa Isfansyah, dan Iwan Setyawan
Cast: Ihsan Taroreh, Alex Komang, Dewi Irawan, Agni Pratistha, Epy Kusnandar, Ence Bagus, Ria Irawan,









 


 










 


Timeline twitter gue akhir-akhir ini sedang ramai, mengenai kisruh film nasional vs film asing. Lagi, masalah ini seolah menjadi bom waktu, akan meledak suatu saat nanti. Tapi bukan pada tempatnya gue menuliskan pendapat gue soal isu ini, gue hanya merasa menyebutkan bahwa ini relevan karena ketika kisruh ini sedang terjadi, film nasional terbaru yang sedang tayang, satu-satunya adalah 9 Summers 10 Autums (Tapi tenang, ada 2 film nasional lain yang sudah coming soon!). Dan menurut pendapat pribadi gue, film ini pasti memiliki sesuatu untuk ditawarkan, sehingga bisa dengan percaya diri harus berhadapan dengan gempuran dari si robot besi Iron Man 3.

Sesungguhnya, gue memang sudah mengagendakan untuk menonton 9S10A, sebagai sebuah penyeimbang dari film-film Hollywood yang sangat rajin gue konsumsi. Apalagi film Indonesia sedang berada di titik menuju perubahan ke arah yang baik, dari mulai banyaknya keanekaraman genre dan semakin baiknya penggarapan sebuah film. Jadi ketika ada seorang teman yang mengajak gue untuk ikut acara nonbar film ini di sebuah bioskop Jakarta, gue sontak mengiyakan walau harus menempuh panas dan macetnya kota Jakarta. Dan ketika gue memasuki gedung bioskop, peluh keringat yang mengucur deras dari kening gue seakan menjadi saksi yang meminta pembuktian, akankah film ini memang sebaik yang dikatan banyak orang?


















Di kota Batu, Malang lahirlah seorang anak bernama Iwan Setyawan (kemudian diperankan oleh Ihsan Taroreh), satu-satunya anak lelaki dari lima bersaudara. Ayahnya (Alex Komang) hanyalah seorang supir angkot yang terlihat tegar dan garang sementara ibunya (Dewi Irawan) adalah stereotip ibu-ibu rumah tangga dengan latar pendidikan biasa-biasa saja. Kehadiran Iwan yang dipanggil Bayek.
ini bisa jadi unik, ketika perlakuan sang ibu yang sangat melindunginya harus berperang di bawah kehendak sang ayah yang ingin menjadikan anaknya ini sebagai seorang anak yang tangguh dan berani juga dalam menghadapi hidup. Tidak bisa tidak, hidup ini keras. Dan dengan keadaan mereka yang sangat pas-pasan, Iwan seolah dibuat frustasi. Kecintaannya kepada buku malah menjauhkannya dari sang ayah, yang menganggapnya lemah, namun justru menjadi sebuah pembuktian untuknya bahwa ia bisa berhasil dengan kuliah di Bogor lalu bekerja di Jakarta dan kemudian...New York.

Diangkat dari kisah asli hidup Iwan Setyawan dari buku yang berjudul sama, pemilihan sutradara Ifa Isfansyah merupakan sebuah keputusan yang sangat brillian. Sutradara yang terkenal dengan Sang Penari ini, menurut gue memiliki sebuah kekuatan untuk menuturkan film ini dengan gaya penceritaan yang sederhana namun menyentuh, tanpa harus menjadi preachy. Dan dengan naskah yang juga ditulis oleh Ifa bersama dengan Fajar Nugroho dan Iwan sendiri, film ini terasa begitu kompleks di tengah kesederhanaan tema yang diusung. Inilah jadinya ketika sebuah ide bisa dieksekusi dengan baik, tidak peduli sesederhana apapun, film ini bisa dengan berhasil bukan hanya menginspirasi banyak orang, tapi juga seolah memukul dengan realita-realita yang ada, yang terasa begitu humanis tanpa berkesan sok menggurui atau apa. Dan yang menjadi sentral dari film ini ada paada karakterisasinya yang sangat-sangat, well, human-like. Setiap karakter dengan jujur diceritakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga tidak membuat gue sebagai penonton condong kepada satu karakter saja. Hal yang sangat jarang gue dapatkan dari sebuah film nasional, to be honest. 
Dan karakterisasi yang sudah dahsyat ini kemudian diisi oleh aktor-aktor yang benar-benar kompeten. Mulai dari Ihsan Taroreh, jebolan ajang menyanyi ini kini sudah menjelma menjadi seniman dalam arti sesungguhnya. Di tangannya, karakter Iwan ditejemahkan dengan sangat baik. Gesturnya yang malu-malu dan sungkan, dengan dialek jawa yang terasa natural dan pas. Lalu ada Alex Komang,berperan sebagai Bapak, tokoh yang bisa dikatakan cukup ‘antagonis’, digambarkan sebagai sosok yang sangat keras dan tangguh, dan Alex Komang sanggup memberikan semuanya hanya lewat sorot matanya saja. Kemudian ada Dewi Irawan yang berperan sebagai pelembut diantara ketegangan yang timbul diantara Iwan dan Bapak, sebagai sosok polos yang begitu bangga dan percaya dengan sang anak hingga akhir, dan untuk itu, gue acungkan keempat jempol, baik itu di tangan maupun kaki. Lima, kalo bisa meminjam jempol siapapun. Dan lalu dengan penampilan banyak aktor pendukung seperti Epy Kusnandar, Ence Bagus, Ria Irawan, Agni Pratistha dan sederet nama lainnya di kemunculan mereka yang sangat singkat.

Lebih lanjut lagi, kekuatan lain dari 9S10A ada pada sinematografinya yang memang sangat indah. Dengan mengambil lokasi syuting di Malang, Bogor, dan New York, Gandang Warah dengan cermatnya menangkap keindahan masing-masing set. Batu yang terasa begitu panas dan berdebu, Bogor yang begitu hijau dan adem ayem, hingga ke New York dengan gemerlap lampu-lampu kotanya, membuat gue sebagai pecinta kota itu kegirangan sendiri karena bisa merasakan wajah baru kota tersebut, dan dari sudut pandang seorang Indonesia.















Jadi, kalau kalian memang punya waktu dan dana berlebih, please do watch this movie di bioskop. Seimbangakan pilihan kita bukan hanya untuk film-film blockbuster, tapi juga dengan film-film sederhana dengan eksekusi yang mendekati sempurna, film-film yang dibuat dengan sepenuh hati, film yang membuat gue seketika kangen suasana rumah, kangen dengan kedua orang tua. Dan gue yakin perasaan ini bukan cuma gue saja yang rasakan. Jarang, jarang sekali bisa menemukan film dengan hasil akhir seperti ini.


Dan ijinkanlah gue untuk menutup ulasan (kalau tidak mau dibilang curhat) ini dengan pujian. Terima kasih, mas Ifa dan terutama mas Iwan Setyawan. Terima kasih sudah membuat film ini. Terima kasih karena telah berbagi kisah yang sangat indah ini. Menonton film ini merupakan sebuah pengalaman yang tidak terduga buat gue. Menonton film ini seolah menyaksikan diri gue dalam diri Iwan, yang harus menghadapi pengharapan-pengharapan dari keluarga yang sangat penting baginya. Dengan sebuah kisah yang bisa related sama siapapun, walau apa yang gue alami mungkin tidak ada sepersepuluhnya dengan apa yang dialami oleh Iwan. Dan melihat ada orang dengan tekad sekuat ini seolah menampar wajah gue, mengingatkan betapa gue sudah menyia-nyiakan banyak hal di dalam hidup gue.

Kekecewaan akan situasi yang ada, yang memotivasi kita semua untuk meraih masa depan yang lebih baik, dengan kesempatan yang kita dapatkan. Kekecewaan kepada diri sendiri karena masih belum bisa memenuhi pengharapan-pengharapan yang ada, sekaligus kembali diingatkan bahwa gue punya orang tua yang lengkap. Yang tanpa banyak mengeluh dan berkorban bagi kami, anak-anaknya, walau terkadang terlupakan. Dan terutama, sebuah pengingat dari sebuah mimpi, bahwa kesuksesan itu adalah bisa membahagiakan sekaligus bisa dekat dengan keluarga. We can;t choose pur past, but we can make sure our future. And overall...Home, is where our heart belongs to. Terima kasih untuk film yang luar biasa indah ini.

Semangatlah, para pengejar mimpi!

2 komentar:

  1. "Batu yang panas dan berdebu" ? Wah, berarti gagal menggambarkan Batu dong. Batukan dingin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, gue mengangkap kesan panas dan berdebu, terutama ketika Iwan membantu ayahnya jadi kenek ataupun saat-saat mereka sedang di rumah. Mungkin kesan itu untuk memperkuat kesan, imo.

      Hapus