Melihat Kuatnya Perempuan Dari Kacamata Film

08.39 Unknown 0 Comments



Menjadi seorang perempuan adalah hal pertama yang menjadi identitas gue, bahkan sebelum nama. Dalam 26 tahun terakhir, gue belum terpikir sama sekali untuk merutuki identitas yang ini. Terlahir sebagai seorang perempuan adalah keistimewaan tersendiri. Kita dianugerahi banyak tugas sekaligus berkah. Kita bisa memilih untuk memakai warna dan pakaian warna apapun tanpa takut dikasih cap "banci". Pakai celana buat perempuan gak aneh, coba kalau dibalik. Perempuan bisa misah misuh dan ngasih alasan lagi PMS. Perempuan dikasih cuti 1 hari setiap bulan kalau sedang menstruasi hari pertama. Perempuan diberkahi desain tubuh yang memungkinkannya untuk mengandung seorang bayi hingga 9 bulan.

Tuh kan, kurang dahsyat apalagi?

Walau begitu, kadang menjadi perempuan bisa jadi tantangan tersendiri. Apalagi ketika lo tinggal di negara yang sistem patriarki-nya kuat. Sistem dimana para lelaki menjadi sentral dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem dimana wanita diatur oleh norma-norma yang mengharuskan mereka memenuhi banyak syarat. Anak perempuan itu harus nurut, duduknya ga boleh ngangkang, dan lain sebagainya. Istri ideal itu harus bisa ngurus rumah, suami, dan anak sekaligus tetap terlihat cantik biar suami gak jajan di luar. Dan lain sebagainya.

Yah, apa yang lo harapkan dari sebuah negara yang salah satu lembaga negaranya mewajibkan tes keperawanan bagi perempuan?


Yah, gue sih ga tau sama lo. Tapi gue cukup tersinggung sama potongan tweet di atas. Gimana gak, secara desain ergonomis tubuh aja, Tuhan menciptakan tubuh kita agar kuat menahan beban saat mengandung. Belum lagi potensi kematian saat proses melahirkan. Semuanya tidak bergantung pada orang lain. Itu baru dari segi anatomi tubuh. Belum lagi, perempuan dituntut punya mental yang kuat, agar ia bisa membesarkan sekaligus mendidik anak-anaknya. Potensi terbesar suatu bangsa adalah generasi mudanya, dan orang pertama yang mendidik mereka adalah ibunya.

Meremehkan wanita sebagai makhluk yang lemah atau tak mandiri berarti meremehkan ibunya sendiri.

Untungnya ga semua orang punya pikiran sempit kayak gitu. Malah, perempuan jadi inspirasi untuk banyak karya seni.

Bayangkan kalau bukan Mona Lisa yang jadi inspirasi utama DaVinci saat itu. Atau Pattie Boyd yang ditasbihkan sebagai muse oleh George Harrison dan Eric Clapton di lagu "Someday" dan "Layla".

Berkaitan dengan Hari Wanita Internasional yang baru lewat sebulan lalu, gue ingin sedikit bercerita mengenai kekuatan perempuan lewat kacamata film. Bukan film sembarang film, karena kebetulan yang akan gue ceritakan ini datang dari tanah air sendiri. Yang pertama adalah film pendek, satunya lagi film panjang yang gue nobatkan jadi film Indonesia terbaik tahun ini. Keduanya sama-sama bercerita mengenai betapa powerful-nya seorang perempuan.

* * * 


Sendiri Diana Sendiri (Following Diana)


Diana (Raihanuun) adalah seoranv istri dan ibu yang ideal. Hari-harinya sibuk mengurus rumah, menyiapkan kebutuhan suami, serta menemani dan mendidik anak semata wayangnya. Suatu malam, sang suami pulang dan memberikan ilustrasi power point  mengenai keputusannya untuk menikah lagi. Sang suami bahkan berceramah panjang lebar, bahwa untuk menjadikan Diana benar-benar wanita ideal, ia harus bisa berbagi dan mengikhlaskan suaminya kepada wanita lain. Catet ya : power point!!! Pengecut macam apa yg mau poligami aja pake presentasi. Lo pikir meeting?!

Serius, kalo sampe gue denger lagi ada laki-laki ngomong kayak gitu, udah gue lelepin mulutnya pake sendal jepit yang udah dicemplungin di lumpur Lapindo.


Di satu sisi, Diana tentu aja ga rela. Dia sibuk bertanya-tanya apa yang salah dengan dirinya, sampai suaminya tega mau nikah dengan wanita lain. Di sisi lain, Diana ga siap kehilangan suaminya secara drastis. Kasihan anak dan keluarga besarnya. Pergumulan batin ini yang disorot dalam durasi selama 45 menit.


Diana Sendiri Diana adalah sebuah bentuk keresahan Kamila Andini terhadap kehidupan berumah tangga di sekitar kita. Which is true, ada banyak perempuan yang suaminya ujug-ujug menikah lagi, dengan atau tanpa izin. Bagaimana budaya patriarki dalam masyarakat menempatkan Diana sebagai pihak yang bersalah. Salah, karena kekurangan suatu hal yang membuat suaminya pergi ke pangkuan wanita lain.

Lewat caranya sendiri, Diana lalu berontak. Keadaan yang terjadi padanya memaksanya putar otak demi kelangsungan hidupnya dan putranya. Diana memilih untuk bekerja. Diana berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi anaknya, ketika suaminya lebih sering berada di rumah istri keduanya. Walau kepercayaan dirinya sempat hancur, Diana pelan-pelan kembali mendapatkan kekuatannya. Ia kini percaya kalau ia mampu berdiri sendiri, mandiri, dan kuat demi putranya. Bahwa menjadi seorang perempuan ideal tidak didefinisikan melalui penilaian masyarakat semata.

Percaya deh walau cuma 45 menit, tapi film yang satu ini sukses bikin gue nangis termehek-mehek. Karena gue related banget sama karakter Diana. Gue tahu banget gimana rasanya ketika suami lo ujug-ujug mau nikah lagi. Lo bertanya-tanya, kesalahan fatal apa yang lo lakukan. Lo ngerasa sangat gak berharga, baik sebagai wanita dan sebagai manusia. Lo tetap harus bisa beraktifitas seperti biasa, karena ada anak-anak lo yang polos dan ga tahu apapun. Dan lo ga bisa cuma diam berharap semua ini akan segera berakhir, karena hal utama sekarang adalah gimana caranya lo bisa survive sendirian, demi anak-anak lo.

* * *


Siti


Siti (Sekar Sari) adalah seorang perempuan yang hidup di kota kecil di pinggir Pantai Parangtritis. Di pagi hari, ia sibuk mengurus dan membujuk putranya yang malas sekolah. Lalu ia berjualan peyek bersama ibu mertuanya. Dan di malam hari, ia menemani tamu-tamu pria di tempat karaoke remang-remang. Pekerjaannya ini bukan tanpa alasan. Sebagai berperan seorang ibu, ia juga berperan sebagai kepala keluarga, karena suaminya mengalami nervous breakdown hingga hanya bisa berbaring diam dan tidak bisa berfungsi sebagai pria normal. Padahal, mereka dikejar-kejar hutang, yang harus segera dilunasi, tak peduli keadaan mereka.

Disorot dalam warna monokrom hitam dan putih, film yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Eddie Cahyono ini punya kepahitan luar biasa dalam bercerita. Kisah Siti sendiri begitu getir sekaligus nyata terjadi. Partner gue, Ndoro Editor, berhasil meyakinkan gue bahwa di kisah seperti Siti ini banyak terjadi di masyarakat. Perempuan seperti Siti harus menutup telinga dengan omongan orang-orang di kampungnya, karena pilihannya hanya antara bisa makan dan bayar hutang atau mati.

Selain terasa begitu realistis, akting super keren dari Sekar Sari bakalan bikin lo meringis nyeri. Dengan begitu banyak masalah yang mendesak, Siti terlihat begitu tegar walau sinar matanya begitu nanar. Ia bagaikan sebuah granat, siap meledak begitu pemicunya dicabut. Ia marah pada keadaan. Marah karena suaminya tak berfungsi secara fisik, mental, dan biologis. Marah karena hutang suaminya yang terpaksa ia pikul. Marah karena suaminya malah ngambek karena pilihan profesinya.

Beban berat yang ia pikul membuatnya begitu rapuh. Ia ingin menjadi wanita normal lainnya, punya seseorang yang bisa melindunginya.  Ia rindu dengan suaminya. Rindu ingin disentuh dan diperlakukan sebagai wanita. Kerinduannya hadir dalam sosok Gatot, polisi berkumis baplang yang tampan dan tergila-gila padanya. Tapi, bahkan sosok sempurna seperti Gatot tak bisa memenuhi rasa rindunya. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah mendengar suaminya berbicara lagi padanya.


* * *

Siti dan Diana hanyalah contoh kecil dari wajah perempuan di dunia. Perempuan-perempuan yang ditempa oleh kerasnya kehidupan. Perempuan-perempuan yang menolak takluk oleh cobaan hidup. Perempuan-perempuan tegar, yang berusaha untuk tetap tersenyum, sesulit apapun, demi anak-anak mereka. Gak peduli betapa sulitnya, melihat wajah anak yang tertawa bahagia, adalah segalanya.

Masih berpikir wanita adalah makhluk lemah yang ga bisa ngapa-ngapain? Think again!!

0 komentar: