[Journal] My Most Favourite 2013 Movie List
Awalnya, gue tidak terpikir untuk membuat daftar film-film
terfavorit di tahun 2013 versi gue. Let’s
say...kerjaan yang semakin hectic
dan kuliah yang membuat otak gue sudah
malas duluan untuk mikir apa yang mau gue tulis. Agak malu juga,
karena banyak film keren, seperti Before Midnight, At World’s End,
Francess Ha, Kings of Summer, sampai Blue The Warmest Color yang
tidak masuk ke dalam daftar gue hari ini karena gue belum juga menonton
film-film diatas sampai tahun 2013 ini berakhir.
In the end kemudian,
sebelum sedang menulis ini, gue sedang stuck
dan fucked
up sama tugas-tugas kuliah yang
menumpuk. I really need a refreshing,
badly. Dan menulis seharusnya menjadi
sebuah media untuk berekspresi, bukan untuk memberikan impresi.
Semestinya, gak peduli juga kalau gue belum nonton banyak film bagus
di 2013 kemarin. Toh siapalah gue, hanya seorang mainstream
movie-enthusiast kebanyakan, belum
sekelas reviewer-reviewer kece
yang ditunggu-tunggu tulisannya. Maka ijinkanlah gue untuk meralat
keinginan awal gue di atas, and I
proudly present my favourite movies in 2013!!
1. 12 Years A Slave
Sejak awal berita mengenai film ini, fix
film McQueen ini masuk ke dalam daftar wajib tonton gue. Beruntung
sekali bisa nonton film ini di layar bioskop saat JiFFest November
2013 kemarin. As a big fans of
Fassbender and McQueen, may I said that this one is so tormenting and
painfully, yet very beautiful. Film
paling ‘aman’, ‘lurus’, dan ‘happy
ending’ dari kerjasama McQueen –
Fassbender selama ini. Banyak bercerita dengan dialog namun kekuatan
utamanya justru ada di banyak adegan panorama yang sunyi senyap,
seolah menceritakan suasana hati dari filmnya sendiri, indah sekali!
Akting-aktingnya juara, dari mulai Ejiofor, Lupita Nyong’o sampai
Paul Dano. 12 Years A Slave benar-benar memberikan gambaran mengenai
black slavery, topik
yang masih sangat sensitif bagi penonton Amerika Serikat, dan
menyenangkan melihat bagaimana McQueen mengkompromikan visinya
menjadi sebuah karya seni indah yang lebih mudah dicerna,walau urutan favorit gue masih :
Shame – Hunger – 12 Years A Slave.
Special mention :
Fassy, yang bener-bener berhasil
memainkan Epps, bukan hanya sekedar jahat, tapi brutal, buas, gila,
dan...sexy :3.
Fave scene :
Whenever Fassy saw his fave slave, his
eyes getting darker and meaner, somehow...it’s really seductive and
sexy. Iye gue tau, emang guenya aja
yang delusional.
Oh, kali ini bukan dari sisi fangirling,
tapi adegan ketika Salomon digantung di
pohon seharian, momen ketika ia berusaha bertahan hidup dengan
berpijak pada sebuah dahan pohon dilatarbelakangi dengan kegiatan
para budak yang terus berjalan tanpa satupun yang berani melepaskan
Salomon...tak bisa digambarkan dengan kata-kata betapa perihnya!
Baca review gue mengenai film ini, 12 Years A
Slave : Don’t Survive, Live” disini.
2. Rush
Ketika awalnya menonton film ini di press
screening bersama dua rekan sesama
movie-enthusiast, Haris
(@oldeuboi) dan Masset (@ssetiawan), gue tidak berharap banyak. Satu,
gue bukanlah seorang penikmat olahraga F1, sehingga gue asing dengan
nama James Hunt dan Niki Lauda. Dua, karena gue sedang dalam tahap
fucked up aja.
Turns out, gue
sangat sangat menyukai film ini. Ron Howard menyutradari film ini
dengan sangat brilian. Dengan sangat keren, dia membuat sebuah
penceritaan yang menarik dan kontradiktif satu sama lain. Maksud gue
gini, sebagai film biografi, ketika Hunt sedang berada di jalur
kemenangan, alih-alih Howard justru menceritakan saat-saat terendah
Lauda, begitu juga sebaliknya. Dan akhirnya jadi sangat relevan
dengan taglinenya
: “Everyone driven by something”.
Special Mention :
Daniel Bruhl sebagai Niki Lauda, aktingnya bener-bener memukau, i
lost my words here.
Fave Scene : Saat
Lauda harus menjalani pembersihan paru-paru, ketika dokter harus
memasukkan pengisap melalui kerongkongan, dan Lauda menonton berita
kemenangan Hunt di TV. Sinar matanya yang menunjukkan determinasi dan
rasa tidak mau kalah! Ngeri!
Baca juga review gue mengenai Rush : “A Gripping and Intense Story About What riven Us, Human" disini.
3. Stoker
Kasus yang sama seperti 12 Years A Slave, Stoker
sudah masuk dalam daftar wajib tonton gue di tahun 2013. Satu alasan
: Park Chan Wook. Buat penikmat film, nama beliau sudah pasti
dikenal, terutama karena Vengeance
Trilogynya, dan juga gaya
penyutradaraannya yang super stylish.
Membawa gaya penyutradaraannya ke dunia
Hollywood dengan naskah dari Wenthworth Miller, Chan Wook berhasil
memberikan sebuah film yang unik dan bisa jadi tidak biasa bagi
penikmat film Hollywood. Film ini bukan hanya menjadi sebuah film
bergenre drama thriller biasa.
Ini adalah sebuah film coming of age
yang sophisticated
dan elegan, dengan fetishnya
terhadap hubunganincest (Atau ini cuma tebak-tebakan sotoy gue aja).
Dan pendekatan Chan Wook memberikan sebuah blending
yang ciamik, bagaikan menikmati
cheeseburger dengan
kimchi : enak di beberapa lidah, namun selebihnya aneh di lidah yang
lain.
Special Mention :
Chung Chung Hoon, sebagai director of
photography yang dibajak Chan Wook
untuk proyek ini. Gaya pengambilan gambar dan shot-shotnya
sangat cantik dan stylish, cocok
dengan gaya penceritaan Chan Wook yang detail dan penuh simbolisasi
di setiap scenenya.
Fave Scene :
Sejak kapan ada adegan main piano antara keponakan dan pamannya bisa
sekinky itu?
Chemistry antara
India (Wasikowska) dan Uncle Charlie (Goode) terlalu sulit untuk
diabaikan sekaligus ‘sakit’.
Baca juga review gue yang dimuat di Layar-Tancep,
Stoker : “Sebuah Cheeseburger Dengan Rasa Kimchi” disini.
4. Snowpiercer
Sekali lagi negeri ginseng menunjukkan taring
tajamnya ketika kini giliran Bong Joon Ho yang menyutradarai
bintang-bintang Hollywood seperti Chris Evans, Jamie Bell, hingga
Tilda Swinton dari novel Perancis,”Le Transperceneige” karangan
Jacques Lab. Di masa depan, ketika umat manusia hampir punah karena
cuaca dingin yang sangat ekstrim, yang bertahan hidup hanyalah
orang-orang yang menumpang kereta. Dan cara Joon Ho membuat
penggambaran strata sosial manusia di setiap gerbongnya, dengan
banyak kritik sosial, membuat film yang berdurasi panjang ini nyaris
tak berasa. Terutama, dengan pendekatan Joon Ho yang family
oriented, setiap adegan kekerasan minus
darah yang ada justru terlihat indah namun membuat ngilu di beberapa
bagian tubuh. Gak pernah kebayang akan nonton film Hollywood dengan
blending taste Korea
sebaik ini (hal yang kurang bisa diberikan oleh Chan-Wook,
sayangnya). Durasi film yang dua jam nyaris tidak terasa karena
begitu banyak momen-momen merinding disko melalui scene-scene
super stylish
dengan adegan slow-mo
yang memanjakan mata. Minus berada di
ending film
yang entah kenapa terasa menggampangkan dan anti-klimaks. Akting
terbaik dari Chris Evans selama karirnya, dan terutama Tilda Swinton
yang ikonik.
Special Mention :
That goddamn protein bar. I never seeing
grass jelly at the same way anymore.
Fave Scene :
Adegan pertarungan dalam keadaan mati lampu di gerbong ketiga.
Keren!!!
5. Warm Bodies
Premisnya kurang menjanjikan : kisah cinta antara
zombie dengan manusia, terdengar seperti another
lame love story like Twilight Saga. Dan
underestimated ini
justru membawa pengalaman menonton Warm Bodies menjadi sangat
menyenangkan, karena cara Jonathan Levine menceritakannya malah
berkebalikan dengan Twilight. R digambarkan sebagai zombie
hipster yang sangat lovable,
dan dengan insight
mind dari R, gue melihat begitu banyak
adegan lucu dan unyu. Jangan lupa dengan soundtracknya
yang kece-kece. Seru!
Special Mention :
Don’t be creepy, don’t be creepy,
don’t be creepy...
Fave Scene :
Adegan make over R. Kocak!!!
Baca juga review gue untuk film ini, Warm Bodies :
“This Zombie Is Getting Warm ” disini.
6. Gravity
Never, in my 24
years of living, had experienced this : unable to move, trembling all
over my body, and hardly to catch my breath. Nope, I’m not
describing an orgasm experience, but this one was nearly to that.
Menonton Gravity adalah satu hal.
Menonton Gravity dalam 3D IMAX adalah hal lain. Sebuah pengalaman
menonton yang sangat mendebarkan. Selama ini gue selalu berpikir
bahwa IMAX overrated. Namun
Cuaron membawa kita ke sebuah level baru, dimana sebagai penonton
kita sejak awal sudah dijejali sebuah premis : lost
in space, where no one can hear you.
Dan selama itu pula, guesudah percaya duluan kalo gue ikut tersesat
bersama Bullock, dengan kesempatan selamat yang minus.
Dengan visualisasi yang sangat megah
sekaligus sepi, film ini sukses membuat gue depresi. Dan ya, 30 menit
setelah menonton ini, gue bahkan masih gemetaran ketakutan. Lebay?
Terserah lo aja sih.
Special Mention :
Sandra Bullock done an amazing acting.
And that ass!! Whoaaa!!!
Fave Scene :
Ketika Bullock berhasil masuk ke dalam stasiun luar angkasa, melepas
seluruh perlengkapan astronotnya, dan menekuk tubuhnya dalam keadaan
fetal potition...
Baca review gue yang dimuat di Layar-Tancep,
Gravity : “Sci-Fi Thriller Luar Biasa Dari Cuaron” disini.
7. Mood Indigo
Tayang di Festival Sinema Perancis awal Desember
2013, film arahan Gondry yang berasal dari novel karya Boris Vian ini
awalnya membuat mood gue
yang sempet down (karena
sebelumnya nonton Venus Noire-nya Kechiche) jadi bangkit kembali,
dengan gaya surealis penuh warna warni indah, membawa kita tersenyum
geli ketika masuk ke dalam dunia aneh khas Gondry. Kisah cinta Colin
(Duris) dan Chloe (Tautou) terlalu indah untuk jadi kenyataan, sampai
akhirnya Gondry mulai membawa kita ke sebuah kisah tragis mengenai
cinta dan pengorbanan. Dan mood pun
kembali depresif karena dengan sangat jeniusnya, Gondry mengubah
pelan-pelan tone film
ini menjadi semakin suram lalu kelabu, dan ruang lingkup gerak
tokoh-tokohnya semakin menyempit, menimbulkan efek klaustrofobia.
Kalau di 2012 ada Amore, di 2013 ada Mood Indigo!
Special Mention :
that cute little mouse-man :3.
Fave Scene :
Ketika Colin dan Chloe naik ke atas wahana berbentuk awan dan
melihat-lihat kota. Sureal dan unik, penuh kebahagiaan.
8. Prisoners
Jika dalam Changeling, Angelina Jolie mati-matian mencari sang anak yang diculik, maka di Prisoners, Hugh Jackman yang mencari putri kecilnya yang hilang diculik. Satu hal yang sangat gue sukai dari film karya Villeneuve ini adalah bagaimana dengan rapinya gue sebagai penonton dibawa masuk ke dalam sebuah labirin penuh teka-teki, dimana ia banyak memberikan petunjuk yang seolah berarti penting, padahal kita semakin dalam terjerumus ke dalam tanpa pernah bisa menemukan jalan keluar. Ledakan akting dari Jackman, Gyllenhaal dan (favorit gue di film ini) Dano memberikan mood moody yang juga sudah diwakilkan dengan sinematigrafi dan tone filmnya sendiri. Keren!
Special Mention : Radiohead - Codex, yang jadi OST filmnya. Depressing!!
Face Scene : Momen ketika Jackman menyiksa Dano, bener-bener bikin ngilu namun tak mampu berkedip!
Baca juga review gue untuk film ini di Layar-Tancep, Prisoners : "Cinta Ayah Dala Balutan Drama Nan Suram" disini.
9. Pacific Rim
Bayangkan era ketika di jaman kanak-kanak dulu, lo besar dengan Ultraman, Power Rangers, hingga serial mecha seperti Gundam. Ide monster jelek yang menghancurkan kota dan dilawan oleh robot-robot tangguh ibarat sebuah mimpi basah bagi gue dan banyak orang yang tumbuh besar di era tersebut. Del Toro berhasil memberikan sebuah detail visual yang mengerikan untuk tubuh monster dan robot-robotnya, namun sayangnya tidak memiliki pengembangan cerita yang mendalam sehingga gue sebagai penonton hanya teringat Jaeger vs Kaiju saja dari awal hingga akhir.
Special Mention : That red hot with three hands Jaeger!
Fave Scene : Satu-satunya adegan memorable dengan kedalaman akting luar biasa yang digambarkan oleh si Mako kecil (Mana Ashida) di tengah ketakutannya dalam melihat Kaiju.
Baca juga review gue untuk film ini, Pacific Rim : "Welcome Back, Childhood!" disini.
10. The Conjuring
Gue gak pernah suka sama film horor, at all. Sebelum gue menjelaskan panjang lebar bahwa sesungguhnya psikopat itu lebih mengerikan dibandingkan dengan mahluk gaib dengan songongnya, gue mau mengakui bahwa sebenernya gue takut sama setan. Males aja harus duduk dalam kegelapan dan melihat diri sendiri ditakut-takuti sama sesuatu yang tak nyata. Dan fakta bahwa The Conjuring bisa masuk ke dalam list ini, berarti hanya satu : filmnya serem. Pake banget. Satu-satunya film yang bisa bikin gue tereak-tereak mau pulang di tahun 203 ini.
Special Mention : James Wan, satu-satunya sutradara film horror yang berhasil membuat gue kepengen nonton Insidious 2 karena ketagihan sama The Conjuring. Padahal kualitas keduanya jauh total.
Fave Scene : Clapping hands behind your back, hiii...
Iron Man 3 please..., Saya suka kejutan Mandarin-nya.
BalasHapus