Review : Heima and Inni ; Sigur Rós
HEIMA & INNI
An Introduction and A Nice Friendly Chatting
Inni : Sigur Ros (2011) Director : Vincent Morisset Cast : Jon Thor Birgisson, Orri P. Dyrason, Georg Hoim | |
Heima :
Sigur Ros (2007)
Director : Dean DeBlois Cast : Jon Thor Birgisson, Orri P. Dyrason, Georg Hoim |
*********
Jadi, Mery kemudian mengirimkan dua lagu dari Sigur Ros untuk kemudian gue
dengar, yaitu Hoppipolla dan Heima. Alasan kenapa lagu ini yang dipilih karena
katanya lagu ini paling easy listening buat kuping gue (yang masih
sangat alay, sodara-sodara!). Membuat gue jadi kepikiran sendiri saat itu, yang
easy listening-nya aja begini, gimana yang gak easy listening-nya
yak...Tapi toh nyatanya, based on curiosity (and they said that curiosity could
killed a cat...which is one of the cutest and adorable creature in this world,
beside my babies, Aimee and Ayden of course) membuat gue kemudian nekat
untuk menonton Inni : Sigur Ros di festival Europe on Screen hari Minggu
kemarin di Erasmus Huis. Dengan peluh yang mengalir deras, tas backpack yang
berat, dan sekotak anggur yang gue bawa sebagai camilan, gue pun masuk, hanya
berbekal pengetahuan bahwa Sigur Ros adalah sebuah band asal Islandia dengan musik
yang masih terasa aneh di kuping gue.
Inni, yang disutradarai oleh sutradara berkebangsaan Kanada, Morisset dan
berdurasi sepanjang 74 menit ini bisa jadi merupakah salah satu film dokumenter
ter-absurd yang pernah gue tonton. Pertama, karena seluruh lagu yang dimainkan
di dalam filmnya tak ada satupun yang familiar di telinga gue. Kedua, pilihan
Morisset untuk membuat filmnya hitam-putih, ditambah dengan shot-shot yang
tidak biasa, menyorot seluruh personel band ini dalam memainkan alat musik dan
bereksperimen. Ketiga adalah dengan suara lengkingan dari Birgisson yang
dijuluki angel falsetto. Dan terakhir karena banyak dimasukkannya
gambar-gambar seperti langit malam yang bertaburkan sejuta bintang atau hujan
dan kabut, yang membuat kesan ambience dan dreamnya semakin
nyata. Dan terus terang saja, dengan pilihan seperti ini, pilihannya cuma dua,
lo tertidur atau terhipnotis.
Dan gue? Untungnya gue tidak melewatkan seluruh durasi filmnya dengan tertidur,
karena gue terlalu sibuk terhipnotis dengan apa yang ada di depan gue. Musik
Sigur Ros sendiri, setelah gue perhatikan dengan lebih dekat...musik mereka
sangat rumit. Memang terdengar sederhana, tapi sekaligus terdengar begitu kaya
dan rumit. Dan bisa menyaksikan itu semua di depan mata gue membuat gue terbuai
dan terhipnotis. Rasanya bagaikan diajak masuk ke dalam alam mimpi yang begitu
aneh, tak memiliki sebuah bentuk cerita yang utuh, melayang-layang di
angkasa...tapi sekaligus terasa begitu damai dan menyejukkan jiwa. Terutama
ketika lagu Svefn G Englar (Gue baru tahu judul lagunya belakangan sih, again,
thanks to you Mer!) dimainkan...Benar-benar eargasm and breathtaking!
Tidak tanggung-tanggung, kurang lebih lima hari setelah pengalaman itu, gue langsung melanjutkannya dengan film dokumenter mereka yang kedua, yaitu Heima. Dirilis terlebih dahulu dibandingkan dengan Inni, Heima masih menawarkan feel yang sama dengan Inni. Bedanya, film yang disutradarai oleh DeBlois ini memberikan film yang lebih berwarna dan ringan, dibandingkan dengan Inni. Heima terasa begitu hangat dan memabukkan, menyaksikan mereka melakukan konser unofficial di kampung halaman mereka sendiri, yang dihadiri oleh orang-orang yang mengenal mereka secara pribadi, memberikan kesan seoalh gue ada di antara mereka, menyaksikan keempatnya dengan penuh takjub dan kekaguman, dan sekaligus terasa begitu dekat.
Hal ini kemudian ditambahkan dengan DeBlois yang memasukkan gambar-gambar pemandangan alam, seperti air terjun yang dilambatkan atau layangan yang terbang bebas di awan biru, landscape yang begitu indah....memberikan kesan kampung halaman yang begitu kuat (walau kampung halaman gue mungkin tidak sekeren itu). Berbeda dengan Inni yang terasa begitu jauh dan bagaikan khayalan, Heima terasa lebih nyata dan personal, gue seolah diajak ikut pulang ke kampung mereka, dengan perbukitan yang mirip dunia Teletubbies, dan malah bikin gue jadi memasukkan Islandia sebagai salah satu negara wajib dikunjungi sebelum mati...
Jadi secara keseluruhan, kedua film ini benar-benar membawa gue ke sebuah dimensi baru. Ketika Inni mengajak gue ke sebuah dunia penuh keabsurdan tapi sekaligus sebagai sebuah salam perkenalan akan musik mereka yang tidak begitu mudah gue cerna, maka Heima bagaikan sebuah percakapan penuh persahabatan yang semakin membuat ketertarikan gue akan Sigur Ros ini semakin kuat. Dan gue rasa, orang yang harus gue berikan rasa terima kasih ini tentu Mery, yang sudah terlebih dahulu tenggelam dalam dunia penuh ilusi dan hipnotis dari Sigur Ros.
So, Mery... this double back review is highly dedicated for you, For everything that you gave for almost a year of our friendship. And happy birthday. Stay fabulous and classy, exactly like our first time chatted. Happy birthday, dear...
Tidak tanggung-tanggung, kurang lebih lima hari setelah pengalaman itu, gue langsung melanjutkannya dengan film dokumenter mereka yang kedua, yaitu Heima. Dirilis terlebih dahulu dibandingkan dengan Inni, Heima masih menawarkan feel yang sama dengan Inni. Bedanya, film yang disutradarai oleh DeBlois ini memberikan film yang lebih berwarna dan ringan, dibandingkan dengan Inni. Heima terasa begitu hangat dan memabukkan, menyaksikan mereka melakukan konser unofficial di kampung halaman mereka sendiri, yang dihadiri oleh orang-orang yang mengenal mereka secara pribadi, memberikan kesan seoalh gue ada di antara mereka, menyaksikan keempatnya dengan penuh takjub dan kekaguman, dan sekaligus terasa begitu dekat.
Hal ini kemudian ditambahkan dengan DeBlois yang memasukkan gambar-gambar pemandangan alam, seperti air terjun yang dilambatkan atau layangan yang terbang bebas di awan biru, landscape yang begitu indah....memberikan kesan kampung halaman yang begitu kuat (walau kampung halaman gue mungkin tidak sekeren itu). Berbeda dengan Inni yang terasa begitu jauh dan bagaikan khayalan, Heima terasa lebih nyata dan personal, gue seolah diajak ikut pulang ke kampung mereka, dengan perbukitan yang mirip dunia Teletubbies, dan malah bikin gue jadi memasukkan Islandia sebagai salah satu negara wajib dikunjungi sebelum mati...
Jadi secara keseluruhan, kedua film ini benar-benar membawa gue ke sebuah dimensi baru. Ketika Inni mengajak gue ke sebuah dunia penuh keabsurdan tapi sekaligus sebagai sebuah salam perkenalan akan musik mereka yang tidak begitu mudah gue cerna, maka Heima bagaikan sebuah percakapan penuh persahabatan yang semakin membuat ketertarikan gue akan Sigur Ros ini semakin kuat. Dan gue rasa, orang yang harus gue berikan rasa terima kasih ini tentu Mery, yang sudah terlebih dahulu tenggelam dalam dunia penuh ilusi dan hipnotis dari Sigur Ros.
So, Mery... this double back review is highly dedicated for you, For everything that you gave for almost a year of our friendship. And happy birthday. Stay fabulous and classy, exactly like our first time chatted. Happy birthday, dear...
0 komentar: