Review : Les Geants ( 2011 )

10.40 Indanavetta 0 Comments


LES GEANTS 
" A Beautiful painfully coming of age movie "

Director              : Bouli Lanners
Screenplay          : Bouli Lanners and Elice Ancion
 Cast                   : Zacharie Chasseriaud, Martin Nissen, Paul Bartel, Karim Leklou



                Apa yang terlintas di benak kalian ketika mendengar nama Belgia? Kalo gue sih sudah jelas: praline chocolate. Negara ini memang sangat terkenal dengan kualitas cokelatnya, sehingga kadang-kadang menyebut Belgia tidak cukup dengan Belgia saja, tetapi Belgium Praline Chocolate. Padahal, ada banyak hal dari Belgia, yang sebagian gue intip ketika menonton The Giants (atau Les Geants), sebuah film yang diputar di festival Europe on Screen 2013.

                Film ini berkisah mengenai kakak beradik Seth (Nissen)dan Zak (Chasseriaud) yang menjalani hari-hari mereka di musim panas tanpa kehadiran orang tua mereka. Bersama sahabat baru mereka, Danny (Baqrtel), mereka berpetualang untuk merasakan kehidupan orang dewasa : menyetir, mengisap ganja, minum alkohol, dan lain sebagainya. Lalu kemudian, ketika mereka tidak memegang uang sepeser pun lagi, keadaan menjadi sulit. Mereka kemudian memutar akal dengan cara menyewakan rumah peninggalan kakek mereka untuk menjadi tempat penanaman ganja kepada Beef. Sayang, apa yang mereka rencanakan jauh dari kenyataan.

                Dalam festival Europe on Screen, yang dilaksanakan lebih cepat tahun ini, film ini ada di kategori ‘Discovery’, yang merupakan film-film pilihan yang memberikan kita pemahaman mengenai isu-isu yang ada di negara moviemakernya masing-masing. The Giants pertama kali tayang di Cannes Film Festival pada tanggal 20 Mei 2011, sebelum akhirnya tayang di negaranya sendiri pada tanggal 12 Oktober 2011. Dan walaupun hanya berdurasi 84 menit, bersiap-siaplah menyaksikan sebuah film petualangan yang dibalut dengan keindahan negara Belgia.

                Lanners yang menyutradarai dan menulis naskahnya bersama dengan Ancion ini tidak lantas membuat sebuah film drama petualangan biasa. It is more than that. Sangat suka dengan bagaimana kedalaman ceritanya dibangun dengan cara yang mengalir seperti air. Rasanya bukan seperti menonton tiga sekawan ini di layar bioskop, tapi rasanya gue berada bersama mereka, ikut dalam petualangan-petualangan gila nan jenaka khas anak-anak, yang semuanya terasa begitu natural tapi sekaligus miris. Miris melihat anak-anak seusia mereka sudah lepas ke jalanan, hidup sendiri tanpa dipedulikan oleh orang tua mereka. This is definetely not right, tapi Lanners bisa mengarahkan penonton untuk tertawa bersama mereka, tanpa harus menjadi preachy atau judgmentally, yang ada hanya menyuguhkan sebuah realitas yang ada. An ugly truth, karena sangat relevan, bukan hanya di negara asalnya tapi juga di Indonesia....di seluruh dunia.


                Poin lain yang harus disorot adalah keindahan landscape dari kota kecil Ardennes dan juga Luxembourg tempat film ini syuting. Menampilkan sebuah bentuk kesunyian dan nuansa surviving di tengah alam bebas yang begitu murni tak tersentuh modernisasi. Jean-Paul De Zaeytijd berhasil menangkap esensi dari filmnya dan menghasilkan gambar-gambar panorama keindahan lain dar Belgia yang jarang diekspos.

                Dan setelah tadi gue menyinggung masalah ‘alami’, hal ini juga berlaku untuk para pemain utamanya. Mereka tidak terlihat seperti sedang memerankan peran, mereka bagaikan sedang memainkan diri mereka sendiri. Keceriaan dalam menjalani hari-hari yang serba tidak pasti dan pastinya sangat sulit dibayangkan kita semua, pandangan kosong mereka yang menerawang jauh, semuanya sangat meyakinkan. Mereka mengajak penonton untuk turut menjadi teman seperjuangan mereka, turut dalam petualangan yang semakin mendewasakan mereka, tanpa harus ada satupun adegan menye-menye dan emosional (memangnya sinetron Indonesia?). 















Terkhusus untuk Zacharie Chasseriaud yang memerankan Zak yang paling muda diantara mereka bertiga, sosoknya sebagai yang paling ceria, usil, dan jahil, namun memiliki karakterisasi paling dalam dan kompleks. Zak yang menyembunyikan kerinduannya kepada sang ibu, yang disimbolkan dengan mobile phone yang tak pernah lepas dari tangannya, sampai ke sebuah ending yang tidak bisa dikatakan happy atau sad ending, tapi sebagai sebuah film bertemakan coming of age, this is so perfect. It’s so beautiful painfully one.

Buat yang ketinggalan, film ini masih akan tayang sekali lagi tanggal 8 Mei di Instituto Italiano Jakarta dan tanggal 9 Mei di AF Medan.
               

0 komentar: