HELLO, GOODBYE

02.13 Indanavetta 0 Comments



HELLO, GOODBYE


Suasana toko buku selalu membawa pecinta buku manapun masuk ke dalam suasana damai. Auranya begitu magis. Aroma buku baru yang lebih wangi dibandingkan dengan Channel No. 5 sekalipun. Tumpukan buku-buku dengan cover berwarna-warni yang sangat memanjakan mata. Lalu lalang orang-orang yang begitu tenggelam dengan isi pikiran mereka sendiri, memilah-milah buku mana yang akan mereka beli. Atau hanya sekumpulan remaja usia tanggung yang menumpang membaca, dengan seenak hatinya merobek buku dari plastik pembungkus. Pemandangan ini selalu bisa membuat siapapun lupa sejenak dengan keruwetan dan kepahitan hidup. Ketika memilih satu dari sejuta buku, rasanya bagai berhasil memilih seorang pria yang tepat di luar sana. Analogi yang aneh memang.

Di sebuah bagian toko, ada Tiara. Seorang wanita berumur 23 tahun dengan rambut dipotong pendek dan tubuh yang lumayan tinggi walau postur tubuhnya agak bungkuk. Dengan mantap dia menuju sebuah rak berisi novel-novel misteri. Hari ini Tiara memutuskan ingin menjadi seorang detektif hebat, yang bisa mengungkap rahasia pembunuhan super rumit yang tak ada seorang pun bisa menebak pelakunya. Hari ini, Tiara ingin menjelajah bersama detektif kesukaannya, Hercule Poirot. Tumpukan novel karangan Agatha Christie itu seolah memanggilnya. “Kemari, pilih kami! Kami akan membawamu ke sebuah petualangan seru yang jauh lebih menarik dari kehidupanmu!” Seolah tersihir, dibuatnya Tiara terpaku dan termangu-mangu. Bingung.

Tiba-tiba, dari belakang muncul sebuah tangan laki-laki yang lebar, panjang, dengan kulit kecokelatN. Dia meraih sebuah buku karangan Agatha Christie, And Then There Were None”. Tiara mendadak terhenyak. Nafasnya berhenti mendadak. Dia kenal tangan itu. Ada hari-hari dimana Tiara merasa sangat senang ketika pertama kali digandeng oleh pemilik tangan itu. Ketika tangan itu membelai pipinya dengan lembut. Ketika tangan itu menghapus air matanya setiap Tiara menangis setelah menonton Sleepless in Seattle utuk yang keseratus kalinya. Ketika tangan itu mengulurkan sebungkus es krim cokelat kacang kesukaan Tiara di hari yang panas. Ketika kedua tangan itu mengatup, tanda sang pemilik sedang berpikir keras. Ketika tangan itu memeluk tubuhnya dari belakang dengan manja. Tubuh Tiara membeku sesaat lalu setelah sepersekian detik, yang terasa bagaikan sejam lamanya, lalu berbalik ke arah sang pemilik tangan, dan dia tahu memang tidak salah mengenali pemilik tangan itu.

Pemilik tangan itu sudah pasti Gilang.

Dia masih Gilang yang sama, walau ada beberapa perubahan fisik, tentunya. Tatapan matanya yang selalu memancarkan sinar optimis kini lebih sendu. Rahangnya terlihat kasar, ditumbuhi cambang tipis, membuatnya lebih terlihat sebagai seorang lelaki dewasa. Ada kerutan dalam di dahinya, yang justru membuat wajahnya lebih tampan. Dan rambutnya sekarang sudah tidak melewati kerah baju lagi. Rambutnya sekarang dipangkas pendek saja, terlihat bersih. Dari tubuhnya menguar wangi cologne yang sama seperti lima tahun lalu. Lucu, terlihat begitu berbeda namun masih ada jejak-jejak kenangan lama yang tertinggal. Gilang yang di depannya adalah seorang asing tapi sekaligus terasa begitu dekat.

“Hei, Gilang?”, tegurnya tak pasti. Dia begitu mirip sekaligus berbeda dari Gilang yang telah Tiara kenal. Dia seketika berbalik. Wajahnya terlihat begitu kaget melihat Tiara.
“Tiara? Is this really you?” Gilang bertanya takjub. Bola matanya membesar. Keningnya mengkerut. Sekilas sinar optimis memancar dari sana. Dia terlihat begitu kaget sekaligus senang. Entah senang karena apa.
Tiara mengangguk sambil tersenyum gugup. Pikirannya berputar cepat. Mengapa setelah sekian lama tidak bertemu, Tuhan tiba-tiba mengayunkan tongkat kehendaknya, membuat pertemuan ini terjadi. Mengapa dari sekian ribu toko buku di kota ini, mereka harus bertemu di sini, di rak buku yang sama pula! 

Gilang tentu saja kaget. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata gadis dengan penampilan sekeren ini adalah Tiara. Yang diingatnya dari sosok Tiara dulu adalah seorang gadis lemah lembut dan manja, dengan rambut hitam halus yang tergerai sampai ke punggung. Tiara yang dulu selalu memakai baju-baju berwarna pastel yang begitu feminim, terlihat begitu anggun dan lembut. Sudah lima tahun sejak mereka putus. Dan Tiara yang ada di depannya kini berambut sangat pendek, padahal dia sangat mencintai rambut indahnya. Rambutnya kini berwarna hitam dengan kilau kecoklatan ketika tertimpa sinar lampu, tanpa aksesoris apapun. Tidak ada jepit lucu, bando imut, atau apapun. Tiara yang ada di depannya mengenakan kaus polo berkerah berwarna kuning, dengan skinny jeans biru butek dan mengenakan tas ransel hitam besar. Postur tubuhnya seolah bungkuk, tidak tegap penuh percaya diri seperti dulu. Seperti bukan Tiara saja. 

“Aku sudah tidak mirip dengan yang dulu ya?”, goda Tiara sambil mengusap lehernya yang telanjang. Berusaha mencairkan suasana hatinya yang mulai kacau dan panik.
Gilang tertawa keras. Suara tawanya yang nge-bass itu. Salah satu suara favorit Tiara dulu. “Sudah lima tahun, lho. Jelas saja kamu sudah tidak seperti kamu yang dulu.”
Tiara tersenyum. “Dan kamu juga berubah banyak.”
“Sudah mirip dengan pria dewasa belum?”, tanyanya sambil tersenyum pahit. Dan Tiara mengerjap kaget.
Rasanya lebih baik jika Gilang menamparku daripada menyindirku seperti itu, pikirnya.
Tiara mengedikkan bahu, berusaha terlihat tenang sambil menarik nafas panjang. Lalu segera menyambar buku apapun yang ada di depannya, berusaha kabur dari suasana tidak menyenangkan ini. “Oke, aku mau beli buku ini.”

“Bagus! Terus habis ini kita minum kopi yuk! Aku mau ngobrol banyak sama kamu.”
“Gak, aku gak bisa. Aku ada urusan habis ini.”
Gilang mendengus kesal, “Please, Tiara. Aku kenal kamu. Kalau kamu tidak mau melakukan sesuatu, cuping hidung kamu akan melebar dan kamu mendadak seperti sedang duduk di atas bara api.”
Tiara menyergah jengkel, “Cuping hidungku tidak melebar!”
“Iya, melebar! Persis kayak hidung kuda nil!” Gilang tertawa keras dengan leluconnya sendiri. Tiara terdiam kesal.
Krik. Krik. Krik. Super garing.
Pikir, Tiara, pikir!
“Oke, aku memang tidak mau minum kopi sama kamu, Lang. Tidak nyaman.”

Gilang seketika memasang wajah memelas, matanya bersinar penuh harap dan bibirnya cemberut. Seperti anak-anak pengamen di jalan, yang melihatmu dengan penuh harap setelah menyanyikan sebuah lagu terkini dengan cara yang begitu aneh sehingga sulit untukmu mengetahui dia menyanyikan lagu apa. Tidak tega untuk tidak memberikan selembar uang, demi rasa kasihan. “Kalau kamu tidak nyaman, kamu bisa langsung pergi. Tapi aku butuh bicara sama kamu, Ra. Penting banget untuk aku ngomong sama kamu sekarang. Cuma kamu yang bisa mengerti.”, katanya pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jeansnya, pertanda dia benar-benar menginginkan sesuatu, namun menahan diri supaya tak terlihat begitu antusias. Gilang tahu persis Tiara sukar untuk menolak.

Tiara akhirnya menyerah. Sambil mendesah kesal Tiara menjawab, “Tapi kamu yang traktir ya!”

***
Starbucks di sore hari, selalu dipenuhi oleh berbagai macam jenis manusia. Kebanyakan dari mereka adalah eksekutif muda berusia awal 30, yang sudah melepas dasinya dan menggulung lengan kemejanya, asyik mengisap rokok sambil bercerita mengenai pekerjaan atau terlalu sibuk dengan gadgetnya. Ada juga sekumpulan ibu, yang nampaknya asyik curhat dengan air mata bercucuran, berkeluh kesah mengenai suaminya yang selingkuh dan anaknya yang sulit diatur, tanpa peduli bahwa semua orang bisa mendengar (dan basically tidak peduli). Dan ada juga Gilang dan Tiara, duduk di sudut ruangan, di sebuah kursi dengan jok hitam yang empuk. Di depan Tiara sudah ada segelas caramel macchiato panas dan sepiring biscotti. Gilang sedang asyik menghirup kopinya, double espresso sambil memeriksa smartphonenya, yang tidak berhenti berkelap-kelip

Padahal dulu dia benci dengan kopi hitam, pikir Tiara sambil pura-pura tidak memperhatikan. Benci dengan pengaruh kafein di tubuhnya, karena dia lebih suka tidur lama di malam hari, kecuali untuk menonton pertandingan tim sepak bola kesukaannya.

Gilang kemudian berdeham, lalu mengeluarkan sekotak rokok dari dalam saku jeansnya. “Tak apa kan kalau aku merokok?”
“Aku tak tahu kau sekarang merokok.”
“Banyak hal dari diriku yang sudah berubah. Ya, aku perokok sekarang.”
Tiara menghela nafas panjang. Sepertinya Gilang masih sakit hati. Padahal sudah lima tahun berlalu sejak Tiara memutuskan Gilang demi seorang pria dewasa yang lebih tua delapan tahun dari dirinya. Sudah lima tahun sejak itu, namun toh Tiara berpikir Gilang tidak akan mempermudah suasana ini.
Dia senang membuatku berkubang dalam rasa bersalah, persis seperti Gilang yang dulu, rutuknya dalam hati.
“Kamu juga jadi pendiam sekarang.”, tegur Gilang lagi sambil menyulut rokoknya dengan api dan menghisapnya dalam-dalam.
Tiara mengangkat bahu lalu menutup bukunya, dengan wajah cemberut. “Aku kan sedang membaca.”
“Aku mengenalmu,Tiara. Kamu hanya sedang berpura-pura membaca. Mata kamu sama sekali tidak bergerak. Bengong doang.”, katanya sambil menghembuskan asap ke arah Tiara.
Wajah Tiara terselubung dengan asap. Dia terbatuk sambil mengibaskan asapnya dengan kesal, “Do you mind?”
Gilang hanya terkekeh geli, “Aku kira tipemu seorang perokok.”
“Cukup, Gilang.”  

Gilang menampilkan ekspresi menjengkelkan seraya menjentikan rokoknya ke asbak. Dia lalu tetap merokok sambil menatap tajam. Jengah rasanya, desis suara Tiara dalam hati.
Rasanya lebih nyaman berbicara dengan diriku sendiri saat ini, toh kamu juga Cuma diam, padahal kamu yang mau ngomongin sesuatu sama aku.” Tiara merasa perlu untuk menjelaskan, berusaha berkilah bahwa sebenarnya dia gugup dan takut, sambil balas menatapnya dengan tajam, tak mau kalah.
Kalau dikiranya ini adalah sebuah permainan untuk membuatku menangis, dia salah besar, jerit Tiara marah di dalam hatinya.
“Kamu berubah banyak. Tiara yang dulu selalu bercerita dengan nada riang gembira.”

“Aku masih Tiara yang sama, hanya saja aku sedang tak ingin bercerita dengan nada riang gembira kepadamu.” Tiara mencium bau balas dendam. Ya, dia mengkhianati Gilang dulu, dan Gilang tidak sempat mengatakan apapun sejak lima tahun yang lalu. Ketika Tiara memutuskannya dulu, Tiara langsung memutuskan semua bentuk komunikasi. Meninggalkan Gilang dalam keadaan bingung dan hati hancur lebur. Sudah pasti Gilang akan balas dendam. Dimulai dengan menyiksa pelan-pelan dengan sindiran-sindiran tajam.

Fair enough. Lagian, aku kaget lho, lihat kamu tadi. Rambut kamu jadi pendek banget sekarang. Aku sampe gak bisa ngenalin kamu lagi. Dan baju kamu! Dandanan kamu udah kayak cowok aja. Kenapa sih rambut kamu ampe dipotong pendek gitu? Aku tahu kamu cinta banget sama rambut panjang kamu. Ngeliat kamu dengan rambut sependek ini buat aku gak make sense aja. Udah kayak Lady Gaga pake baju kaos biasa tahu gak. Dan kenapa juga aku mesti menganalogikan kamu sama Lady Gaga?” Tiba-tiba Gilang merentetkan sederet pertanyaan dengan penuh rasa keingintahuan. Secara refleks Tiara menyentuh rambutnya yang terasa begitu tajam dan kasar di tangan lentiknya.

“Gak kenapa-kenapa juga sih. Enak aja, jadi ringan, gak ribet ngurusnya.” Akhirnya bisa juga Tiara bersuara, menjawab dengan nada ringan.
Gilang tertawa, “Ya ampun, kamu kok gugup banget sih? Salah tingkah begini gara-gara aku ya?”
Wajahnya memerah malu. Sungguh mudahnya dia dibaca oleh Gilang! “Enak aja!”
“Aku emang selalu bisa menimbulkan reaksi begini ke semua cewek, dimaklumi kok!”
“Hahaha. Dasar super PD!”, cibir Tiara lalu memasukkan bukunya ke dalam tas.  Menyerah dengan kamuflasenya yang begitu lemah dan mudah dibaca.
Gilang menatap Tiara lama, lurus ke dalam kedua bola mata Tiara yang berwarna abu-abu karena lensa kontak, “Aku boleh nanya sesuatu hal ke kamu gak?”

Tiara balas menatapnya lurus, tak tahu harus berkata apa. Kemudian Tiara memalingkan pandangannya ke arah lukisan di belakang kepala Gilang sambil mengangguk, berusaha terlihat tidak peduli, walau dia takut akan pertanyaan yang akan diajukan oleh Gilang.
Gilang menghirup kopinya yang masih mengepul dan mengeluarkan aroma khas, lalu berkata pelan, “Udah lima tahun, kamu tahu itu bukan waktu sebentar. Aku butuh tiga tahun, Ra. Tiga tahun sialan buat ikhlas ngelepas kamu pergi. Tiga tahun sialan supaya akhirnya bisa berhenti mikirin kamu.” Nada suaranya begitu pahit. Tiara mendesah pasrah, benci memikirkan penyebab Gilang menjadi begitu pahit adalah karena perbuatannya.

Please, Lang. Kamu tahu aku ngerasa begitu bersalah.”
“Tapi rasa bersalah itu gak menghentikan kamu kan? Kamu tetap saja selingkuh sama dia! Tanpa peduli kalau saat itu aku masih jadi pacar kamu. Dan ketika semua jadi semakin serius, kamu cuma bisa nangis minta maaf sama aku!” Suara Gilang membahana, termakan oleh emosi yang sudah ditahannya selama lima tahun. Gilang bagaikan sebuah panci bertekanan tinggi yang dibuka tutupnya, meledak. Beberapa orang di dekat mereka menoleh dengan kaget.
Tiara lalu menutup wajahnya. Benar, Gilang cuma berkata omong kosong mengenai cerita yang hanya bisa ia curahkan kepadanya.  Maksudnya memang untuk balas dendam, dan sekarang ada di tahapan mempermalukannya di muka umum.

“Lang, kamu bilang ada yang kamu mau ceritain ke aku. Kalau cuma ini, kalau kamu memang cuma berniat buat mempermalukan aku di muka umum, mending kamu ga usah buang-buang waktu dan uang kamu. Cukup kamu teriakin aku ‘Pelacur!’ di tengah jalan, atau sekalian aja kamu nampar aku. Itu jauh lebih baik daripada yang kamu lakuin sekarang!”, bisik Tiara menahan tangis.
Gilang menatapnya lama, berusaha menenangkan nafasnya yang memburu penuh amarah. Lalu kemudian dia berkata dengan suara pelan dan kalah, “I have this girlfriend, Ra. Tapi lalu aku ketemu sama orang lain. Selalu ada orang ketiga. Rasanya gila ketika aku mutusin dia demi orang baru ini. Aku langsung inget sama kamu. Aku langsung bisa ngerti apa yang udah kamu rasakan waktu itu.”

Tiara mendesah kesal, “Toh itu tidak menghentikan kamu untuk bersikap seolah seperti bajingan.”
I’m just being a bastard. A cynical bastard. Old habit never die.”, kilahnya sambil menutup wajah dengan tangan besarnya. “And i’m so sorry. Kamu gak tahu betapa senangnya aku ketemu kamu tadi. Akhirnya aku dikasih kesempatan untuk menanyakan hal ini, pertanyaan besar yang gak pernah bisa dijawab, selain sama kamu. Kenapa kamu rela mengambil resiko itu? Kenapa kita berani mengambil keputusan yang begitu radikal, meninggalkan seseorang yang sudah jelas-jelas mencintai kita demi orang lain, dengan masa depan yang masih buram? Aku gak tahu pasti apa aku akan bahagia sama seorang baru ini, dan itu dia yang jadi pangkal permasalahannya. Why do you have the faith that you will be happy with him, instead of me?”

Tiara terdiam lama sementara Gilang diam menunggu jawaban. Bola matanya yang hitam kelam itu melebar, terlihat begitu terluka, mengetahui kenyataan bahwa kehidupan cinta mereka bagaikan sebuah lingkaran setan yang bulat sempurna. Tiara melukai Gilang, lalu Gilang melukai pacarnya, dan hanya Tuhan yang tahu pacarnya itu mungkin akan menghancurkan hati seorang pria malang, yang akan mematahkan hati wanita lain. 

Gilang rupanya sadar Tiara tak bisa berkata apapun mengenai ini, maka ia melanjutkan dengan suara pelan, “Aku masih inget, ketika kamu mutusin aku demi dia. Kamu nangis karena kamu nyakitin aku. Kata temen kamu, Nia, kamu sampe gak sekolah 2 hari karena kamu ga sanggup bangun dari tempat tidur. Kamu cuman bisa nangis tersedu-sedu. Aku marah banget sama kamu waktu itu. Aku yang sakit, aku yang dikhianatin, tapi kenapa kamu yang nangis? Kenapa seolah-olah kamu yang disakitin sama aku? Ingin rasanya aku datengin kamu saat itu, aku cekik kamu. Tapi harga diriku yang terlalu besar ini gak mengijinkan aku kesana. Aku gak mau sakit lagi ngeliat kamu nangis. Kamu tahu aku lemah sama air mata kamu.”

Tanpa sadar kata-kata meluncur dari mulutku, “Aku nangis karena aku sudah nyakitin salah satu orang paling baik yang pernah aku kenal. Aku gak bangga sama itu.”
“Ya, dan akhirnya sekarang aku bisa ngerti kenapa kamu nangis. Kenapa? Karena aku juga nangis waktu mutusin pacarku. Bodoh ya, laki-laki kok nangis. Dia cinta banget sama aku, tapi aku malah ninggalin dia demi cewek lain. Dan aku gak bangga akan hal itu. Kenapa kita harus meremuk-redamkan hati seseorang demi sebuah keyakinan semu bahwa kita akan bahagia tanpanya?”

Hening. Diam. Rasa sesak dan penyelasan begitu memenuhi udara. Cinta akan selalu berakhir dengan rasa sakit. Menyakiti. Disakiti. Semua proses ini selalu berulang dengan cerita yang tidak jauh beda di belahan dunia manapun. Namun kenapa kita tidak pernah berhenti untuk mencoba mencintai seseorang? Dengan hati yang sudah berdarah-darah dengan nanah yang membusuk, semestinya hati itu dibuang, dibakar, dimusnahkan sebelum mencemari bagian tubuh yang lain. Otak misalnya, bisa gila karena cinta.

Tiara mencuil biscotti dan mengunyahnya pelan lalu menggelengkan kepala pelan, “Aku pikir keyakinan itu ada karena kita terlalu naif. Terlalu percaya dan terlalu mengagungkan sebuah hal abstrak bernama cinta. There are no such thing called love, you know.
Dahinya mengkerut mendengar perkataan Tiara,”Looks who’s talking. Kamu, yang selalu berpikir dunia ini indah, yang selalu nangis nonton film romantis? Kamu yakin kamu beneran Tiara? Bukannya robot canggih kayak di film-film science fiction itu?”
Tiara melipat kedua lengannya menyilang, membentuk sebuah proteksi, menutup diri dari dunia, “Karma berbicara, Lang. Aku ninggalin kamu buat dia, dan dia ninggalin aku demi perempuan lain.”
Gilang tertegun, wajahnya menyiratkan berbagai macam emosi yang saling bercampur aduk. Tiara yakin Gilang menertawainya, tapi terlalu gentle dan baik untuk melakukannya.
Dia mungkin merasa sedih untukku, pikirnya. 

Atau jangan-jangan Gilang gembira dan berpikir untuk kembali padanya. Harapan yang aneh, tapi toh bisa saja terjadi, siapa tahu masih ada perasaan sayang itu, walau hanya sesaat. Tiara tak bisa membaca ekspresi wajahnya. Padahal dulu selalu mudah untuk memperkirakan perasaan Gilang hanya lewat sinar matanya. Lima tahun telah membuatnya menjadi sebuah pintu yang terkunci, misteri yang sulit dipecahkan.
 “Maaf...Aku gak tahu harus bicara apa...Dia pasti udah ngancurin kamu sampai bikin kamu seperti ini. Bukan Tiara yang manis dengan senyum yang selalu ada di wajah kamu. Menjadi Tiara yang jadi begitu tertutup dan keras juga pahit.”, katanya pelan sambil menundukkan wajahnya. Simpati yang mungkin akan melelehkan hati siapapun. Namun Tiara bisa merasakan ada senyum sinis di balik kata-kata simpati itu.
“Dan mungkin kamu mau tertawa dan bilang, ‘I told you so’ ” Tiara menukas dengan tajam, sudah siap dengan serangan berikutnya lalu meneguk kopinya.
“Mana mungkin aku setega itu ngetawain kamu, Ra? Aku mungkin sarkastis, tapi aku ga sejahat itu.”
Tiara mengangkat bahu, “Sudahlah, aku gak akan pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran kamu. Apa yang gak aku tahu gak akan bisa menyakiti aku. Satu hal yang pasti, cinta itu hanya akan berakhir menyakitkan. Aku gak akan pernah mencintai seseorang sebesar itu lagi. Aku gak akan mau jatuh lagi ke dalam keadaan buta dan tuli karena cinta. Kayak keledai. Bodoh namanya.”

Gilang terdiam lama dengan pandangan menerawang, entah apa yang ia pikirkan. Setelah semenit terdiam, yang rasanya bagaikan setahun, kemudian dia bergerak dan mencomot biscotti lalu melahapnya dan kemudian meneguk habis kopinya, “Once upon a time, there’s a man who loved a woman, who loved another man, who loved the other woman. And the story goes on and on. A circle of unhappy love. Yippie!”

Rasanya ada selapis cairan hangat yang sudah begitu mendesak minta ditumpahkan di mata Tiara.  Gilang lalu meraih tisu dan dengan canggung memberikannya ke tangan Tiara. Dulu, kapanpun Tiara menangis, entah itu karena Sleepless in Seattle yang sudah tak terhitung lagi ditonton olehnya,  atau kakinya terantuk meja, atau ketika Tiara mengalami hari buruk, Gilang selalu mengusap air matanya dengan jari-jarinya yang besar dan hangat, dalam diam tanpa kata-kata.

“Maafkan aku, aku masih cengeng ternyata.”, bisik Tiara pelan lalu menotol-notolkan pipinya yang basah.
“Cara yang tidak menyenangkan untuk mengingatkanku ternyata kamu, di dalam kemasan aneh seperti sekarang, masih Tiara yang sama.”, katanya menggerutu. Digaruk-garuknya kepalanya yang tak gatal.
I miss you, Gilang.”, kemudian keluarlah kata-kata bodoh itu.
Dia hanya meringis, “God knows how i missed you too, Tiara. Tapi apa yang kita rindukan hanyalah sebuah kenangan manis, yang tidak akan pernah kembali. Dan juga penyesalan, yang tidak akan pernah berakhir. Aku sadar, aku bukan pria yang cukup baik untukmu dulu. Aku terlalu egois, terlalu sibuk dengan rencana-rencanaku, tanpa melibatkanmu. Butuh waktu lima tahun untuk mengerti akhirnya, ternyata bukan sepenuhnya salah kamu. Kamu meninggalkan aku demi pria yang lebih baik.” 

Air mata Tiara terus berjatuhan tanpa bisa dicegah lagi,  “Terlalu banyak memori menyakitkan diantara kita ya. Memori indah kita sudah aku rusak, sudah teracuni dengan perasaan-perasaan menyakitkan.”
And here we are, damaged and broken.
Tiara kemudian berdiri, merapikan bajunya lalu tersenyum, “Terima kasih buat memori indah dari kamu, Lang. Dan pastiin kalo dia emang bener-bener worth it. You deserve to be happy. Kamu orang baik.”
Gilang ikut-ikutan berdiri, meraih tangan Tiara lalu menelitinya, seolah tangan Tiara adalah spesies baru dan aneh, yang begitu menarik sehingga sulit untuk dilepaskan. “Aku emang orang baik. Dan kamu, jangan pernah berhenti percaya. Ada orang yang baik untuk kamu di sebuah tempat.”

Oh please.” , gerutu Tiara lalu menarik tangannya pelan dan pergi. Ketika sampai di depan pintu, dia lalu berbalik dan tersenyum lebar kepada Gilang, yang masih berdiri terpana menatap punggung Tiara yang beranjak jauh. “Thank you for loving me. Be happy!”, teriaknya girang. Semua orang nampaknya kini menonton, seolah mereka sekarang sedang menyaksikan sebuah scene dari film romantis.
Be happy!”, kata Gilang keras dan menyunggingkan sebuah senyum terakhir ketika Tiara menoleh kearahnya, mengintip dari balik pundaknya. Senyum yang miring ke kiri, senyum favorit Tiara.
Tiara segera keluar dari gedung mal, mencegat taksi lalu masuk, duduk menghempaskan tubuhnya ke kursi. Setelah menyebutkan arah tujuannya, dia lalu melihat ke luar, diam merenung. Di bibirnya tersungging senyum lega. Selamat tinggal perasaan bersalah. Tidak ada lagi sengatan rasa perih ketika dia mengingat-ingat masa lalu, bagaimana dia menyakiti Gilang. Tidak ada lagi perasaan menyesal karena pernah membuang seorang yang begitu baik dan mencintainya. Akhirnya dia bebas.

Gilang berjalan lambat-lambat menyusuri koridor mal, melihat-lihat berbagai macam barang dipamerkan di etalase, menggoda orang-orang untuk mengucurkan kantung dalam-dalam untuk membelinya. Tapi pikirannya tidak kesana. Gilang termangu, akhirnya sebuah pertanyaan besar dalam hidupnya sudah terjawab. Beban besar yang bercokol di dalam dadanya sudah hilang. Akhirnya dia sudah bisa ikhlas memaafkan Tiara. Akhirnya sekarang sudah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada masa lalu yang menyakitkan.

Ucapkan selamat datang kepada masa depan yang penuh misteri namun begitu menggairahkan. Selamat datang untuk seseorang yang baru, dengan lembar cerita yang baru.
Ucapkan selamat tinggal kepada masa lalu yang begitu perih dan menyakitkan untuk diingat. Ucapkan selamat tinggal untuk seseorang yang menyakiti hatimu sedemikian rupa, walau terasa sulit maaf ini dilakukan.
Be happy!  

 ****

Jakarta, 15 Oktober 2012
08.00 am


0 komentar: