[REVIEW] 12 Years A Slave (2013) : "Don't Survive, Live."
Director :
Steve McQueen
Screenplay :
John Ridley based on book '12 Years A Slave' by Solomon Northup
Cast :
Chiwetel Ejiofor, Michael Fassbender, Lupita Nyong'o, Brad Pitt,
Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Paul Giamatti, Sarah Paulson
Semua
movie-enthusiast pasti punya
list sutradara
favoritnya sendiri. Dan dari setiap sutradara favorit itu, pasti
film-film yang disutradarainya jadi sebuah film wajib tonton. Nama
Steve McQueen ada di daftar teratas gue secara otomatis. Padahal
secara filmografi, McQueen 'baru' memiliki tiga film panjang dan
semuanya bukanlah jenis film yang bisa dengan mudah lo tonton di
bioskop, serius. Namun di akhir tahun 2013 ini, big thanks
to Jiffest (cium kaki
panitia-panitianya), gue
akhirnya bisa menyaksikan karya sutradara favorit gue ini di layar
bioskop. And this is now what I called : Expectation meet
the Reality!
Solomon Northup
(Ejiofor) is a free black man back then in New York. Bukan
sesuatu hal yang lazim kala itu, di era sebelum Perang Sipil
dikarenakan orang berkulit hitam masih diaktegorikan sebagai budak
yang kelasnya lebih rendah bahkan dibanding binatang. Solomon hidup
nyaman sebagai seorang musisi biola bersama dengan istri dan kedua
anaknya, sampai ia kemudian diculik oleh duo kawanan pengusaha sirkus
dan berakhir sebagai seorang budak.
Sesimpel itu? Tentu
tidak. Ini adalah McQueen. Ini adalah pria yang membuat parade pria
telanjang yang mengoleskan kotorannya di dinding penjara di Hunger.
Ini adalah pria yang membuat adegan threesome paling
menghancurkan hati di Shame. Ada alasan mengapa 12 Years A Slave
digadang-gadangkan sebagai calon film Oscar terbesar awal tahun 2014
nanti. Dan gue, sebagai seorang fans dan self-acclaimed buzzer
film ini akan mencoba menjabarkannya kepada kalian.
Pria berkebangsaan
Inggris ini dikenal dengan ciri khasnya memberikan banyak long
shot cantik yang mewakili mood film-filmnya. Gue pribadi
merasa 12 Years A Slave ini adalah film beliau yang paling festive
dan meriah dibanding karya sebelumnya. Namun bukan berarti
kemeriahan tersebut tidak mencakupi ciri khas beliau. 12 Years A
Slave banyak sekali memberikan gambar-gambar indah dan cantik dengan
teknik memukau, seolah memberikan jeda kepada penonton untuk menarik
nafas sejenak namun tidak serta merta membuat penonton lupa dengan
apa yang mereka tonton.
Ada alasan mengapa
banyak orang jatuh hati pada karya-karya McQueen. McQueen tidak
pernah mau berkompromi dalam hal visualisasi yang ingin ia sampaikan
kepada penonton. Ia memiliki sebuah visi, dan misinya adalah agar
penonton bukan hanya sekedar menonton apa yang ia buat, namun juga
bisa mengerti realitas yang ia kemukakan. Tajam dan terlalu realistis
adalah apa yang gue dapatkan dari 12 Years A Slave. Setiap cambukan
dan darah yang mengalir, setiap peluh keringat yang mengalir, setiap
tatapan mata kosong yang menerawang di setiap scenenya adalah
sebuah penggambaran nyata akan perbudakan kulit hitam, sebuah sejarah
kelam yang tidak banyak orang ingin mengingatnya. Though,
dibandingkan dengan Hunger dan Shame, kompromi McQueen dalam hal
visualisasi cenderung lebih aman dan lunak di 12 Years A Slave ini.
12 Years A Slave
adalah film McQueen yang paling banyak bercerita dengan dialog kepada
penontonnya. Dan ini sangat didukung dari performa kelas atas dari
setiap castnya. Untuk pertama kalinya bekerja bersama McQueen
adalah Ejiofor sebagai Solomon/Platt. And he is amazing. Sebagai
seorang pria bebas yang dipaksa menjadi budak, harus rela merendahkan
diri demi bertahan dan hidup, sekaligus berusaha agar selalu waras di
tengah siksaan yang ia terima, Ejiofor bermain begitu gemilang dan
menakjubkan. Setiap ekspresi dan gestur yang dimainkannya, rasa
frustasi sekaligus keinginannya untuk tetap hidup, semuanya
menakjubkan. Sebuah performa yang sayang sekali untuk dilewatkan!
Sexy beast? :3 |
Di sisi lain ada
aktor kesayangan kita semua, Michael Fassbender. Si tampan kebangsaan
Jerman – Irlandia ini adalah aktor favorit McQueen di setiap
filmnya, dan kali ini dia berkesempatan memerankan Edwin Epps, tuan
tanah gila dan kejam. Terserah mau dianggap bias (secara gue
Fansbender bo'!), tapi akting Fassbender disini benar-benar
mengerikan. Berperan sebagai Epps yang gila, menganggap semua budak
sebagai properti pribadinya, selalu marah dan kejam, sekaligus
menyimpan perasaan 'cinta' yang aneh kepada budaknya, Patsey
(Nyong'o). Kegilaannya yang tergolong sadis...malah membuat gue
semakin menggelinjang gak jelas. I just wish it was me whenever
his eyes darken and intense, when he seeing Patsy. Gila aja kalau
kali ini Oscar masih belum ngasih piala!
Performa dari para
cast pendukung pun tidak kalah gila. Walau hanya muncul
sebentar, Benny Cumberbatch menjadi penyejuk tensi sebagai Mr. Ford.
Paul Giamatti sebagai penjual budak yang tidak berhati. Sarah Paulson
sebagai Mistress Epps yang cemburuan kepada Patsey dan cinta segitiga
paling aneh dan absurd (nabok kepala orang dengan muka lempeng gitu
gila!). Brad Pitt sebagai Bass yang berpandangan luas dan terbuka
(walau agak tertutup sama karakter lainnya). Kredit tambahan untuk
Paul Dano sebagai Tibeats yang minta ditabok banget, dan terutama
sekali pada Lupita Nyong'o, sebagai Patsey yang nampak begitu hancur
di tengah kegilaan Epps dan Misstress-nya, secara fisik dan mental,
sudah tak bisa menemukan alasan untuk hidup lagi.
In
the end, jika dibandingkan
dengan Hunger dan Shame, 12 Years A Slave mungkin adalah film karya
McQueen yang paling lurus, mudah dicerna dan happy ending,
namun bukan berarti dalam
prosesnya kita sebagai penonton tidak disuguhi sebuah pengalaman
visual yang indah sekaligus jalinan cerita yang utuh dan sanggup
menyayat-nyayat hati. Dengan segala kompromi yang McQueen lakukan, 12
Years A Slave masih bisa menyuguhkan sebuah film yang begitu kejam
dalam penggambaran realitas, sebuah potret ketidakadilan yang begitu
nyata. Dan pada akhirnya, 12 Years A Slave bukan hanya menceritakan
sesosok Solomon Northup, namun juga kisah mengenai manusia, yang
bukan hanya ingin bertahan, namun juga hidup. Life fucks us
all, then it's up to you want to let it happened and be quiet about
it, drowned and got lost into it, or just simply fuck it back.
n.b : Review Hunger dan Shame bisa dibaca disini.
0 komentar: