Just A Thought ; My New Therapy
So many people around me might surprised when they were found out that I
love to walk. Tricky memang, karena suasana jalanan di Jakarta memang tidak
diperuntukkan untuk pedeastrian. Jalur pejalan kaki dengan kondisi mengenaskan,
banyaknya PKL dimana-mana, sampai pengendara motor tolol yang dengan seenak
perutnya melaju disana. Sorry, yang tadi curahan hati. Kayaknya semua Jakartans
Pedestrian mengalami ini deh (bikin istilah semau gue).
I just want to share how this is started. Jadi gue saat itu masih normal,
balik kantor pas jam stengah 6 sore dan dengan setia menunggu kopaja untuk
kemudian pulang ke rumah. Then I just got fucked up. Muak rasanya membayangkan
akan pulang naik kopaja, yang penuh sesak dan berjejalan. Gue ngerasa kayak
ikan sarden, gak punya pilihan, dipaksa masuk berjejalan dengan ikan-ikan
sarden lainnya, dengan bau yang beraneka ragam, ke dalam sebuah kaleng rombeng.
Ya, kopaja bagi gue gak lebih dari kaleng rombeng berjalan dengan asap hitam
yang membumbung tinggi.
Di tengah kemuakan itu, gue melihat ada opsi lain. Jalan. Ya, jalan kaki.
Gue kemudian menjajal daerah Tugu Tani lalu Cikini sampai ke Salemba. Saat itu
gue sambil mengukur waktu. Waktu yang gue butuhkan untuk sampai ke kostan
dengan jalan dan naik kopaja kurang lebih sama : 45 - 60 menit. Bedanya, I keep
moving on. Tidak ada macet. Tidak ada sesak napas berjejalan dengan gerombolan
orang. For the first time in my Jakarta's Era, I feel free. And relax, in a
different way.
So that's how everything started. Ga kenal waktu, ga kenal jarak, gue
mengusahakan diri untuk jalan, kalau sedang tidak kecapekan. Gue pernah nekat
jalan kaki sendirian pas balik jalan sama anak-anak, sekitar tengah malem. Dan
setiap undangan media screening di daerah Thamrin akan gue tempuh dengan jalan.
Terakhir gue nekat jalan dari Kampung Melayu sampai ke Cawang Otista. Buat
pedestrian tingkat dewa, jalur gue mungkin sepele ya.
Dan kemudian, balik ke awal, banyaaaak banget yang kaget dengan hobi baru
gue ini. Well, come on guys! Manusia pada awalnya hanya memiliki kedua kakinya
untuk mencapai kemanapun yang ia hendaki. Apakah manusia jadi sedemikian
malasnya, dimanjakan oleh motor, bajaj, mobil, dll sehingga untuk mencapai
jarak dekat pun harus naik motor? Like...5 km itu deket lho guys! It's not like
gue jalan dari Salemba ampe Depok apa Bekasi gitu. Gak sanggup juga sih, gempor
man :v.
Then, one bestfriend of mine, Ipan, ngesharing foto ini di timeline path gue
:
Somehow, gue ngerasa bangga, bangga aja gitu jadi pedestrian. Walau adek gue sempat berkomentar, "Gak guna sih elo jadi pedestrian di Jakarta. Kota ini terlalu jahat. Iya bener, lo dapet sehatnya. Tapi lo bisa jadi kena kanker karena polusi disini terlalu ganas, kasihan paru-paru lo, kak." Dan emang ya, semestinya Jakarta atau Indonesia mulai memfasilitasi kami, para pedestrian, agar bisa berjalan dengan nyaman tanpa rasa takut. Jadi teringat ketika gue menjelajahi daerah Gaylang Singapore yang begitu nyaman dan banyak taman kota. Capek, tinggal duduk dan bersantai. Disini? Baru di daerah Thamrin dan Menteng yang pedestrian-able banget. Eh tapi jalan trotoar di Jakarta tuh menantang banget sih, udah kayak mau perang aja gitu, menantang nyawa, hahaha.
Now I want to share an important things to all of you. Because now I
found a new way to dealing voices in my head. A new way for make a conversation
with it, make a peace of myself. Walking now, is one of the best way for a
theraphy, beside writing, watching movie, and listening to the music.
Seriously, I found peace. Otak gue yang mumet dan stress begitu udah dibawa
jalan terasa lebih santai. Kadang gue pernah merasa marah luar biasa, namun
kemudian kemarahan itu bisa terlampiaskan dengan berjalan...menuju rumah.
Memang, ada kalanya gue merasa begitu sepi, depresi, hingga rasanya begitu
mencekik leher. Apalagi kalau jalan sambil ngedengerin Radiohead, terutama lagu
Karma Police ama Fake Plastic Tree. I'm not recommended these when you doing
your walking routine. Bisa gila. Bisa nangis. Keren sih, gue berasa kayak
Natalie Portman di film Closer, cinematic gimanaaa gitu. Tapi tetep aja
suicidal bo'!
Sorry ngelantur, but walking when you really depressed is really help. Lo
bisa milih jalan tanpa arah, cuma kaki lo yang membawa lo melangkah sementara
pikiran lo sibuk bicara sama diri sendiri. Bicara sama Tuhan. Buat orang
mungkin aneh, tapi gue sangat merasa religius dan dekat denganNya saat itu,
selain saat shalat tentunya. I feel peace. And secure. Then I realize, Allah
memberikan gue perasaan kosong itu agar gue berdialog dan berkomunikasi sama
Dia. Allah kangen ngobrol sama gue. Ini caraNya supaya di tengah rutinitas yang
semakin mengubah gue menjadi robot, gue selalu bisa dekat dengan Dia.
So this is my story that I want to share with you. Bukan bermaksud sok
religius atau snob abis, tapi orang punya cara yang berbeda-beda sebagai bentuk
terapinya. Belanja di butik mahal, thai boxing, atau menyesap red wine atau
earl grey tea di kala senggang. Kebetulan cara gue adalah jalan. And it's not
require any amount of money. Affordable for any kind of living creature on
earth. Human, animal, vampire, zombie, alien....anything.
Jakarta, 24 Oktober 2013
After took 3.5 kms from office to home, while eating a green tea ogura McFlurry in between.
And now starving to death.
Hasta la vista.
Good nite!
After took 3.5 kms from office to home, while eating a green tea ogura McFlurry in between.
And now starving to death.
Hasta la vista.
Good nite!
0 komentar: