[Review] The Babadook : "Baba...dook dook!"

05.44 Unknown 0 Comments



Director : Jennifer Kent
Screenplay : Jennifer Kent
Cast : Essie Davis, Noah Wiseman

"Well, I'd consider you a fool if you weren't", adalah jawaban lugas dari Professor Lupin ketika Harry Potter mengemukakan ketakutannya pada Dementor. Takut merupakan salah satu perasaan paling alami yang dimiliki oleh manusia. Menelaah rasa takut mungkin tidak bisa melihat dari sisi luarnya saja. Bahwa ketakutan hadir dari rasa tidak berdaya seseorang saat menghadapi masalah. Kadang, rasa takut hadir karena imajinasi yang ditampilkan berlebihan. Tapi satu yang pasti, rasa takut idealnya harus bisa kita hadapi.




Berkat buzzing yang cukup heboh di linimasa jejaring sosial dan berbagai situs portal film, The Babadook cukup menggoda iman gue, seorang picky yang sebenarnya takut menyantap film berjenis ini. Premisnya biasa saja, yaitu seorang janda yang hidup berdua dengan anak yang bermasalah dan delusional lalu diganggu oleh kekuatan yang misterius di rumahnya. Sudah berapa banyak film-film horor dengan premis sejenis? Tak salah juga ketika banyak orang berharap The Babadook akan sama seramnya dengan Insidious atau The Conjuring dengan premis serupa.

Singkat cerita, The Babadook bercerita mengenai seorang janda bernama Amelia (Davis) yang tinggal berdua saja dengan anaknya, Samuel (Wiseman). Hidupnya tak bisa dibilang mudah, suaminya meninggal dalam kecelakaan sesaat sebelum ia melahirkan Samuel. Samuel sendiri tumbuh besar menjadi seorang anak yang agresif dan memiliki daya imajinasi yang cukup 'liar' dibanding anak-anak seumurannya. Suatu malam, Samuel meminta ibunya untuk membacakan sebuah buku berjudul 'The Babadook' sebelum ia tidur. Sejak saat itu hidup mereka berdua berubah. Benarkah The Babadook hanya hidup di dalam imajinasi Samuel? 

Apa yang menyebabkan The Babadook terasa sama sekaligus berbeda jauh dengan The Conjuring? Pertama, kita diperkenalkan dengan sosok Babadook itu sendiri. Sebuah sosok bogeyman dengan pakaian serba hitam ala jaman Victorian. Jari-jari tangannya panjang dan tajam, sepert Freddy Krueger, dan wajahnya putih pucat dengan tatapan mata kosong melompong. Saat ia menakut-nakuti dengan slogan terkenalnya, "Baba..dook..dook", suaranya sama seraknya dengan suara gagak kurang minum Deskripsi barusan sudah cukup mengerikan dan memacu adrenalin, belum?


Kenyataannya, hal yang membuat The Babadook sangat mengerikan justru bukan dari sosok The Babadook itu sendiri. Saat diperkenalkan dengan kedua tokoh utama, yaitu Amelie dan Samuel, secara tidak langsung kita disodorkan dengan masalah yang lebih pelik dibanding sekedar hantu yang datang di malam hari. Hubungan antara ibu dan anak ini jelas bukan hubungan yang sehat dan penuh kasih sayang. Semuanya terasa tegang dan mencekik. Amelia masih berjuang dengan rasa kehilangannya. Samuel sendiri bukan anak yang mudah dihadapi. Ia terobsesi dengan kehadiran monster, senang menciptakan senjata yang berbahaya, sekaligus agresif dan cenderung histeris, bukti bahwa ia tumbuh besar dengan situasi kegelisahan dan kemarahan yang terpendam. Saat kemudian Amelia menemukan buku cerita The Babadook hanya memperuncing  masalah yang sudah ada.

Kent yang menyutradarai dan menulis sendiri naskah film The Babadook membuat kita melihat dari sudut pandang yang berbeda mengenai sifat-sifat keibuan. Tak jarang kan, kita membaca atau mendengar berita seorang ibu yang tega membunuh anak-anaknya sendiri? Bukan untuk menjustifikasi apa yang sudah mereka lakukan, tapi The Babadook menyorot hal-hal yang tak nampak, bahwa seorang ibu tetap seorang manusia biasa yang hidup dengan pergumulan batin dan ketakutannya sendiri. Ujung-ujungnya tetap, mau melawan balik atau terseret ketakutannya sendiri.

Tanpa akting yang memukau, tentu The Babadook tidak akan bisa tampil semenakutkan ini. Davis dengan sangat cemerlang memerankan banyak layer dari Amelia. Di satu sisi, ia memerankan apa yang masyarakat ingin lihat dari seorang single parent : pekerja keras namun lembut dan menyayangi anaknya. Di sisi lain, ia lapar untuk memiliki partner berbagi sekaligus merasa kesepian. Dan ketika cerita bergulir semakin intens, kita diberikan sisi baru dari Amelia yang tertekan sekaligus berjuang mempertahankan kewarasannya. Seperti saat ia sedang bermasturbasi lalu tiba-tiba Samuel masuk ke dalam kamar sambil menjerit-jerit ketakutan. Frustasi sekali bukan? 



Banyak kemudian yang merasa kecewa dengan The Babadook karena muatan psikologis dan perasaan depresi yang dibawa ke dalamnya. Jelas, saat kita menonton film horor adalah saat yang tepat untuk menjerit-jerit ketakutan dan mengeluarkan rasa frustasi yang ada. The Babadook tidak mengijinkan kita untuk sekedar menjerit ketakutan. Ia membawa kita masuk ke dalam sebuah kisah pergumulan batin seorang single parent melawan trauma dan rasa kehilangan sekaligus berjuang membesarkan anaknya sendirian. The Babadook membawa kita masuk ke dalam sebuah aura klaustrophobia yang pekat dan kental bagai sebuah mimpi buruk dari menjadi seorang ibu.

Di satu sisi, tak heran ketika The Babadook hadir dengan review yang sangat bagus dari para kritikus. Ia hadir bagai gabungan dari The Shining dan Rosemary's Baby dengan kedalaman konten dan karakterisasi yang memukau. Namun di sisi lain bisa jadi ia sangat mengecewakan, terutama dari penggemar genre horror hantu-hantuan yang membutuhkan sarana untuk menginjeksikan adrenalin dan berteriak-teriak seru, bukannya ikut kelelahan dan depresi bersama dengan Amelia dan Samuel. 




0 komentar: