Movie Review : Vertigo

20.59 Indanavetta 0 Comments


Vertigo ( 1958 )
Director : Alfred Hitchcock
Screenplay : Alec Coppel and Samuel A. Taylor
based on novel D’enteres les morts by Boileau-Narcejac
Cast : James Stewart, Kim Novak, BarbaraBel Gedes
Ternyata definisi orang tentang film klasik atau ‘jadul’ itu berbeda-beda. Ini lucu sebenernya. Kemaren gue ngobrol sama adek gue, dan dia bercerita tentang weekend-nya yang diisi dengan nonton film di TV kabel. Menurutnya, film-film 90an terasa sangat jadul, dalam segi special effect tentu. Bahkan setelah nonton TAS, dia merasa Spider-Man sangat jadul dan special effect-nya yang terlihat kekanakan.

Gue kemudian bercerita kalau tempo hari gue nonton 12 Angry Men yang notabene dibuat tahun 1957 dan berencana akan menonton Vertigo (1958). Buat dia mungkin gue terdengar aneh, kok mau-maunya nonton film jadul. Sekali lagi : beda definisi, beda pandangan, dan beda selera yang menentukan. Sah-sah aja sih, sebenernya. Kembali lagi, sebenarnya definisi film itu apa?

Buat seorang penikmat awam, yang hanya menginginkan hiburan yang ia suka tanpa perlu berpikir soal tetek bengek siapa sutradara dan pemainnya, kualitas akting, maupun hal-hal artistik lain segala rupa, film jadul mungkin gak akan pernah diliriknya. Tapi buat beberapa pecinta film, film klasik adalah sebuah keharusan. Seorang sahabat gue bahkan adalah pecinta film film  Screwball Comedy yang notabene berada di sekitaran tahun 1930-1940 (era Great Depression). Jadi, mau perang urat syaraf sampai kapan pun, film adalah masalah selera pribadi yang gak bisa diganggu gugat.

Perkenalan pertama gue dengan film klasik adalah dengan Psycho (1960), sebuah karya legendaris dari master of suspence, Alfred Hitchcock. Agak riskan sebenarnya waktu itu karena medianya hitam-putih. I might ended up hating it. But I didn’t. Awalnya gue sedikit kaget dengan setting film yang begitu jadul, karena adanya sebuah gap budaya dan generasi yang begitu besar, namun setelah mengeset ulang ekspektasi, it was spectacular and beyond amazing! Jadilah, gue menjadi agak terobsesi untuk menonton semua film karya Hitchcock. Sebuah sensasi sinematik yang begitu orgasmik, buat gue setidaknya. Setelah Rear Window yang begitu artistik, rumit, dan teliti juga Rope dengan karakterisasi menawan dan long shot scene-nya yang breathtaking, this is time for Vertigo!

John ‘Scottie’ Ferguson (Stewart) adalah seorang detektif polisi yang memutuskan untuk pensiun setelah shock atas kematian partnernya, yang tak bisa ia selamatkan karena rupanya dia menderita acrophobia (fobia terhadap tempat tinggi). Hari-harinya ia jalani dengan mengunjungi teman dekatnya Midge Wood (Geddes). Suatu hari, Scottie diundang oleh kawan lamanya, Galvin Elster (Helmore) yang memintanya untuk menyelidiki istrinya, Madeleine Elster (Novak) yang bertindak sangat aneh. Scottie pun menerimanya, tanpa tahu konsekuensi apa yang harus diterimanya.

Siapa yang tidak mengenal Alfred Hitchcock? Sebagai pecinta film, at least pasti pernah dengar namanya. Beliau dielu-elukan sebagai salah satu sutradara paling jenius sepanjang masa, the Master of Suspense karena kesukaanya membesut film-film bergenre Psychological Thriller. Siapa yang bisa melupakan scene di kamar mandi di film Psycho? Salah satu scene paling memorable sepanjang masa. Bukti bahwa untuk membuat sebuah adegan sadis tidak melulu membutuhkan segalon darah palsu maupun tubuh yang terpotong. Artistik dan indah, dilihat dari segi manapun. Dan di Vertigo, Hitchcock membawa gue ke pengalaman baru yang sama sekali berbeda dengan 3 film sebelumnya, namun tetap breathtaking experience :D .

Vertigo dikenal sebagai satu dari “Five Lost Hitchcock” (bersama dengan Rear Window, The Man Who Knew Too Much, Rope, dan The Trouble With Harry) menghilang selama beberapa dekade, yang kemudian dibeli kembali oleh Hitchcock. Ketika ditayangkan, awalnya Vertigo mendapat sambutan beragam baik dari kritikus maupun penonton. Hitchcock menyalahkan Stewart yang menurutnya terlihat tua di film ini, menjadikan Vertigo sebagai kerjasama terakhir Hitchcock-Stewart. Namun setelah akhirnya direstorasi oleh Robert A. Harris dan James C. Katz dan ditayangkan ulang pada tahun 1996, sambutannya berbanding terbalik hingga 180 derajat. Kritikus mengelu-elukannya sebagai salah satu karya terbaik Hitchcock, bersanding dengan Psycho.

Di Vertigo, Hitchcock meng-capture pemandangan San Francisco dengan begitu elegan. Terasa jadul memang, tapi justru membuat gue merinding kagum dengan keelokan dan keindahan landscapenya. Akting Stewart dan Novak, sebagai tonggak utama filmnya, mengesankan. Walau jujur, gue sebenernya lebih suka dengan chemistry antara Stewart-Kelly di Rear Window, yang terlihat elegan dan classy dengan caranya sendiri. Score musiknya sendiri mencekam, dan secara tidak langsung berkolerasi dengan judul filmnya sendiri. Dan gue setuju dengan pendapat Martin Scorsese mengenai scoringnya. Rasanya seperti kita dibawa berputar-putar dalam sebuah lingkaran spiral berulang kali. Menimbulkan sensasi berputar yang menegangkan namun membuat ketagihan.

Toh, Vertigo punya kelasnya sendiri. Kedalaman karakter Scottie digambarkan secara utuh. Ketakutannya akan ketinggian, depresinya, rasa bersalahnya, juga obsesinya tak sehat akan wanita yang ia cintai. Dark, yet inviting us to watch it more and more. Dan dengan aroma sex dan kematian yang membumbui film ini (but please, don’t expect any sex scene, as this is a classic movie that had a very classy way to show the sex scent withour the scene ;p), inilah kekuatan utama dari Vertigo. Sebuah film roman sekaligus thriller yang kualitasnya sulit disamai sampai kapanpun juga.

Walau filmnya awalnya berjalan lambat, namun Vertigo secara perlahan membangun tensi ketegangan, membuat gue menebak-nebak, kemudian mementahkan tebakan tersebut. Dan ketika gue mengira filmnya sudah mencapai klimaks…ternyata gue salah besar! Kalau mau dianalogikan, menonton Vertigo rasanya bagaikan memakan rainbow cake yang tiap lapisan warnanya punya rasa yang berbeda. Dan begitu dimakan sekaligus dalam satu suapan…campuran adrenalin, rasa kagum, dan pikiran yang diaduk-aduk menjadikan sebuah pengalaman baru dalam menonton.

Mengejutkan. Sekaligus membuat kita ketagihan, lagi dan lagi.Jadi, film jadul tak selamanya membuat kita yang menonton mengalami gap budaya dan generasi yang begitu besar. Sebaliknya, untuk yang sudah terbiasa, film klasik punya kelasnya sendiri. Dimana dengan keterbatasan teknologi dibanding sekarang, justru membuktikan bahwa film bagus adalah film yang mempunya cerita yang kuat dan mendalam, yang membuat penontonnya terlena sepanjang durasi dan membuat lupa bahwa si penonton menghirup udara di tahun 2012, bukannya tahun 50an! Definitely a mind blowing from the Master of Suspence! And yes, Mr Hitchcock, thank you for blowing my mind again. I’ll wait for the next orgasms cinematic sensation from your other masterpiece.

What’s next? Any idea?

Official Trailer :

0 komentar: