Rebirth

20.45 Indanavetta 0 Comments




Masak ulang! Ini terlalu matang!”, teriakku malam itu, ketika menu terakhir untuk Secondi, atau main course, ada di depanku. Costoletta di Vitello yang dimasak sous chef-ku ini tidak sesuai standarku. Tak mungkin aku akan mengirimkannya ke tamu.

Ketika malam ini berakhir, aku benar-benar diam. Stafku pun ikut-ikutan diam. Mereka tahu, ketika aku diam, justru aku sedang sangat marah. Mereka menunggu dampratanku, atau apapun. Malam ini benar-benar seperti neraka di dapur restoran Coco Pazzo. Barisan line cook dan sous chef yang katanya terlatih itu salah memasak nasi, terlalu lembek. Sehingga menyebabkan semua pesanan pesto risotto gagal. Ikan yang terlalu mentah. Daging anak sapi yang dimasak terlalu matang. Tak ada yang sesuai standar.
Aku keluar dari dapur tanpa mengucapkan sepatah katapun, langsung menuju kantor. Aku segera berganti pakaian dan memeriksa handphoneku.

Ada beberapa pesan, tapi tak satupun dari Becca. Tak ada.
Becca adalah cinta dalam hidupku. Dia segalanya buatku. Dia adalah dewi dengan rambut merahnya yang sensual dan tubuh indahnya yang sempurna. Senyumnya yang menenangkan. Binar matanya yang indah. Dia selalu ada untukku. Dan sekarang dia tak bisa merasakan bahwa aku sedang mengalami hari yang buruk?!
Akhirnya aku menelponnya, namun langsung masuk ke kotak suara. Aku meninggalkan beberapa pesan, curhat mengenai betapa buruknya hariku, bertanya tentang harinya, kenapa dia tak mengaktifkan handphonenya, kemudian menyuruhnya istirahat yang cukup. Lalu akhirnya aku mengambil kunci mobil dan pulang.

***

Ketika aku terbangun esok harinya, aku menjalani rutinitas seperti biasanya. Menelpon beberapa pemasok untuk memesan bahan-bahan untuk di restoran. Kami kehabisan burung puyuh untuk hidangan Quaglie Arrosto. Ikan sea bass harus dalam keadaan segar saat diantar malam ini. Pasokan jamur truffle hitam juga sudah menipis. Kerja. Kerja. Kerja.

Becca masih belum membalas pesanku. Mungkin dia ketiduran atau apa. Segera setelah menyelesaikan tugas kecil, aku mandi dan berpakaian. Aku mengambil sebutir apel hijau dan sebotol air dari kulkas kemudian menuju meja kerja. Menyalakan laptop. Mencari akun Becca di twitter. Aku harus mengecek apa Becca baik-baik saja. Apa yang dia lakukan seharian kemarin.

Dia baru berangkat kembali ke New York dua hari yang lalu. Malam pertama, dia menghabiskan waktu dengan menghadiri pesta amal di Hotel Ritz. Dia menyertakan sebuah foto, tampak Becca-ku dengan rambutnya yang disanggul rapi dan mengenakan pakaian malam berwarna merah. Dia tampak seperti api. Panas. Sensual. Becca-ku.

Hmmm..Kemudian esok harinya ada sebuah pemotretan. Apa? Pemotretan pakaian dalam? Becca-ku? Becca-ku yang cantik, akan dilihat oleh seluruh kaum lelaki di dunia, dalam balutan pakaian dalam hitam berenda?! Dan kenapa dia tak mengatakan apapun mengenai ini?!
Dengan perasaan tak karuan, aku mencari mentionnya, siapa saja followernya yang berkomentar mengenai pemotretannya. Sial, kebanyakan laki-laki. Ada yang botak, gondrong, berkumis, berjenggot, atau tanpa keduanya. Kesamaan mereka semua, mereka terlihat mesum. Tentu saja, laki-laki mana yang tidak suka melihat wanita seksi berambut merah yang mengenakan pakaian dalam?
Rasa marahku memuncak! Tidak! Becca milikku seorang! Tak boleh ada seorang pun yang melihatnya!! Aku melempar botol airku yang terbuka ke seberang ruangan. Air menciprati rak buku dan membasahi karpet. Biarlah. Aku tak perduli.
Aku segera memakai sepatu jogging dan keluar dari rumah. Lari. Lari dari rasa marah ini. Aku perlu berpikir dan mendinginkan kepalaku.

***

Aku berlari hingga akhirnya lelah. Badanku berkeringat. Tapi kepalaku serasa mau pecah. Pikiranku masih berkutat kepada masalah yang sama. Becca. Becca. Becca.
Aku duduk di bangku taman, kepalaku tertunduk menatap tanah. Kenapa sih dia tidak memberitahuku dulu? Aku kan tidak akan sekaget ini jadinya. Sialan. Becca. Becca. Becca.

“Sedang ada masalah, chef Nick?” Terdengar sebuah suara yang tak asing. Aku mengangkat kepalaku, dan melihat seorang kenalan.
“Hey, Topher. Apa yang kau lakukan disini?”, tanyaku sambil tersenyum masam. Topher adalah seorang pengantar sayuran segar untuk restoran tempatku bekerja. Dia orang kepercayaan bosnya di toko. Lelaki muda yang baik dan lembut hatinya.
Topher tersenyum lalu duduk, matanya menatap lembut ke arah taman bermain yang letaknya tak jauh dari kami. Dia menunjuk seorang gadis cilik berbaju biru yang sedang asyik bermain.
“Anakmu?”, tanyaku.
“Anak tiriku. Kami hanya berdua sekarang, ibunya menghilang, entah kemana.”
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya dengan prihatin. Kasihan sekali dia. ” Maafkan aku. Pasti berat, membesarkan seorang anak, apalagi bukan anak kandungmu.”
“Tak apa. Toh Christy anak yang baik. Dia hanya punya aku. Aku sayang padanya.” Topher mengangkat bahunya tak acuh, “Lagipula, aku yakin toh ibu Christy tak akan pernah kembali.”
“Apa yang membuatmu begitu yakin?”
Topher menatapku, sekilas ada kilauan dalam matanya yang lembut, terlihat aneh sekaligus mengerikan. “Anggap saja aku tahu. Jadi, kenapa kau terlihat begitu gelisah, chef?”
Aku bergidik ketika sinar matanya sudah kembali ‘normal’, entahlah. Dia terlihat aneh, bagiku. Seolah dia mengenakan sebuah topeng, yang aku tak yakin mengapa.
“Chef?”
“Ah, tidak. Hanya masalah pribadi. Aku dan pacarku, Becca. Dia model. Kami memang jarang bertemu, apalagi praktis dia tinggal di New York. Dia pulang ke Chicago hanya untuk menjenguk ibunya. Masalahnya adalah, aku hanya tidak suka melihatnya menjadi model pakaian dalam. Jutaan pria akan melihatnya. Hal yang semestinya hanya boleh kulihat,” kataku panjang lebar. Topher tampaknya bisa dipercaya.
Topher mengangguk pelan, walau rahangnya mengeras, entah mengapa.
“Kau tak berpikir untuk…’mengikatnya’, chef?”
Aku tersentak. Mengikatnya? Betul juga, kalau aku menikah dengannya, dia tidak perlu melakukan pekerjaan busuk ini. Dia bisa lebih sering menjenguk ibunya di Panti Jompo. Ide yang brilian!
“Kau jenius!” Aku menepuk bahunya sambil tertawa. Semudah ini kah jawabannya?

Topher hanya menyeringai, lalu memberikan kartu namanya. “Aku yakin kau akan membutuhkan bantuanku dalam waktu dekat. Telepon aku, chef!” Dia lalu berdiri, mengangguk untuk pamit dan berjalan menuju ke arah anak perempuannya.

~~~~

Becca akhirnya menelpon ketika aku pulang sehabis berlari. Terima kasih atas saran jenius dari Topher, aku lupa penyebab kemarahanku dan nyaris girang ketika ia akhirnya menelpon.

“Nick, ini aku.” Becca terdengar begitu dingin. Mungkin karena dia kelelahan sehabis pemotretan. Percayalah, para fotografer itu bisa memaksa para model berpakaian minim berada di depan kamera hingga 10 jam!
“Becca, Sayangku. Aku merindukanmu.”
Terdengar suara menghela nafas panjang. “Aku tak meragukan itu, Nick. Dengar, aku akan pulang minggu ini. Mungkin kita bisa bicara?”
“Tentu. Aku libur Senin ini. Makan malam ditempatku?”
Becca terdiam sesaat lalu berkata pelan, “Baiklah. Senin malam kalau begitu.”
“Aku mencintaimu, Becca.”
“Aku tahu.” Katanya selalu.
Oke! Kepalaku sibuk berpikir dan membuat rencana. Aku tahu persis apa yang harus kulakukan. Aku bisa membayangkan akhirnya : Becca berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin putih panjang dan
 menggenggam buket bunga, tersenyum penuh cinta padaku. Hanya padaku. Dia milikku.

***

Teleponku berdering ketika aku sedang asyik menguleni adonan untuk pasta segar di dapurku. Aku segera mengelap tanganku dengan kain basah lalu mengangkatnya.

 “Halo?”, sapaku.
“Halo, Nick…Apa kabar, anakku?” Terdengar suara lirih itu. Aku menghela nafas. Perasaanku berkecamuk antara senang dan kesal mendengarnya.
“Baik, Bu. Bagaimana denganmu?”
Aku bisa membayangkan beliau saat ini. Duduk di sudut ruangan dengan penerangan minim, kepalanya menunduk dengan pandangan menerawang sambil memuntir-muntir kabel telepon dengan kikuk.
“Aku…”
Dengan frustasi, aku mengacak rambutku, “Sudahlah, Bu. Ceritakan padaku. Apa lagi yang dia lakukan?”
“Oh, biasa…”
Aku memukul talenan. Sebuah tomat hancur terkena pukulanku. Dalam hal emosi, aku sama sepertinya. Orang yang menurunkan DNAnya padaku. Ayahku.
Terdengar suara ibuku terkesiap, dan aku langsung menyesal. Aku menghela nafas kesal. “Sudahlah, Bu. Tumpahkan saja, seperti biasanya. Bukankah memang itu arti kehidupanku bagimu? Tempatmu membuang semua omong kosong hidupmu?”

Pemilihan kata yang salah. Beliau langsung terisak. “Aku mencintai ayahmu, Nick. Kau tahu itu.”
“Aku tahu.”
Ibu berusaha mengatur nafasnya sejenak, “Dia bertemu seseorang lagi. Umurnya bahkan baru pertengahan 20. Lebih cocok menjadi adikmu…”
Aku menghela nafas kesal. Pria yang menjadi ayahku itu sangat khas lelaki Italia. Tampan, namun tak setia. Sebagai bentuk protesku terhadapnya, aku masuk ke Culinary Institute of America, bukannya Brown University. Menjadi koki, bukannya melanjutkan perusahaannya. Meninggalkan Atlanta, dan dengan bangga menyebut diriku seorang Chicagonians. Meninggalkan ibuku, yang tak ingin pergi, yang lebih memilih disakiti daripada pergi jauh dari Ayahku. Cinta yang teramat buta. Dan bodoh.
“Tak inginkah kau pergi, Bu?”, tanyaku lembut. Aku tersenyum sinis ketika membayangkan rambut pirang yang bercampur uban di kepala ibuku itu bergoyang ketika beliau menggelengkan kepalanya.
“Aku akan bertahan.” Katanya selalu. Lalu dia segera mengganti subjek pembicaraan, “Jadi, apa yang sedang kau lakukan sebelum aku mengganggumu?”
“Aku akan melamar Becca, malam ini. Aku akan memasak untuknya, dan cincin berlian di dalam tiramisu sebagai puncak acara.” jawabku sambil meregangkan tubuh.
“Antipastonya?”
“Caprice salad.”
“Bagus, pilihan yang ringan dan segar. Bagaimana untuk primo?”
“Mushroom ravioli dengan cincangan daging anak lembu.”
Ibuku tertawa, “Becca akan langsung mati bahagia. Kau bisa membuatnya dengan mata tertutup. Bagaimana dengan secondo?”
Aku terkekeh. Lebih mudah bicara tentang makanan. “Yang mudah-mudah saja. Ayam panggang rosemary.”
“Masakan mudah namun terjamin rasanya. Lebih bisa diprediksi, bukan?”
“Kau mengajariku dengan baik, Bu. Dan aku menemukan asparagus putih segar di pasar tadi. Itu akan dipanggang dan disiram dengan minyak zaitun sebagai contorno-nya. Lalu, sebagai sentuhan terakhir, ada tiramisu.”, kataku agak sedikit terlalu antusias.
“Telepon Ibu besok sebelum kau berangkat kerja, oke?”, kata Ibu dengan lembut lalu menutup telponnya.
Aku terdiam, mendengar nada putus di telepon lalu balas berbisik dengan penuh kerinduan. “Doakan aku, Bu. Doakan aku.”

***

Becca datang pukul 6 sore. Mengenakan gaun hitam berenda begitu dia membuka french-coatnya, dia terlihat sensual seperti biasa. Rambut merahnya ditata acak, seolah seperti baru bangun. Menggairahkan.
Becca memelukku, walau tak seerat yang kuinginkan.

“Aku merindukanmu, Becca. Kau mesti tahu siksaan apa yang kualami. Kau nyaris tak pernah memberiku kabar.”, bisikku lembut. Becca hanya mendesah keras.
“Aku sibuk, Nick. Aku kesana untuk bekerja, nyaris tak punya waktu makan, bahkan tidur. Dan kau memenuhi pesan suara di ponselku. Kita sudah sepakat, kau tak boleh melakukan itu!” Becca menatapku kesal, mata hijaunya menyala. Dia terlihat makin cantik.
Aku tersenyum lalu mengecup bibir penuhnya sekilas, “Malam ini, perutmu akan sangat terpuaskan..”
Becca bergidik, “Semoga tidak. Aku ngeri membayangkan masakanmu akan menggemukanku.”
“Apapun untuk memenangkan hatimu…”, kataku pelan sambil berkedip.
“Makanan bukan salah satunya.”, tukasnya sambil cemberut. Becca lalu menuju ruang makan lalu duduk. Aku segera menuangkan Vermont tahun 2005 ke gelas wine dengan ahli lalu membawa sepiring kecil caprese salad. Lapisan demi lapisan tomat, keju mozarella, dan daun basil dengan siraman minyak zaitun, bagaikan bendera negara Italia. Cantik dan menggugah selera. Dengan garpu, Becca menyisihkan mozarellanya, lalu melahap tomat dan basilnya, dalam gigitan-gititan kecil.
“Caro, mozarella-nya akan menangis karena kau pilih kasih…”, tegurku halus. Becca menatapku tajam.
“Nick, aku benar-benar tak suka ketika kau memaksa apa yang harus aku makan. Aku makan apa yang ingin kumakan, oke?” Becca menegaskan kata-katanya sambil membanting garpu.
Aku bersedekap. Gemas rasanya. Sedikit mozarella toh tak akan membunuhnya. Tapi sudahlah. Aku ingin Becca berurai air mata dan berkata “Aku bersedia” nanti.

Kesabaranku makin teruji ketika Ravioli jamur dengan cincangan daging anak lembu kuhidangkan. Becca dengan sopan menggigit sebuah, namun wajahnya mengernyit.
Aku menggertakkan gigiku, “Tidak enak?”
“Oh, enak kok.”
Tentu saja enak. Aku bisa membuatnya sambil tidur. Tapi wajahnya yang mengernyit itu…huh! Aku tahu Becca sangat menjaga bentuk tubuhnya, tapi persetan!
Aku meraih gelasku dan meneguk wine-ku sampai habis lalu berusaha untuk tersenyum. Membuat Becca untuk makan benar-benar tantangan. “Langsung ke pencuci mulut saja?” Aku menawarinya.
Becca tersenyum kecil dan mengangguk.
 Lucu.
Semangatku mulai terpompa naik. Sangat khas Becca. Aku berdiri dan membuka lemari es kemudian mengambil sebuah wadah plastik berwarna hijau.
Becca terpekik senang. Tiramisu adalah pengecualian. Dia sangat suka tiramisu. Bahkan, kami mulai berkencan karena tiramisu. Mengerti kan ide brilianku tentang memasukkan cincin ke dalamnya?
“Oh, aku mungkin tidak akan makan apapun seminggu ini!”, katanya sambil menyendok tiramisunya. “Dan, apa bahasa italia untuk biskuit…”
“Savoiardi.”, jawabku sambil tertawa keras. “Serius. Kenapa sih kau tak pernah bisa mengingat namanya dengan benar?”
Becca hanya mengangkat bahu sambil terus menyendoki tiramisunya, sampai ketika dia mengigit sesuatu yang keras. Dahinya yang cantik berkerut lalu dia melepehkan makanannya ke serbet. Kemudian dia akhirnya sadar.
“Nick, sadarkah kau, kalau kau menaruh cincin Tiffany berpotongan soliter seharga dua puluh lima ribu dolar ke dalam tiramisu, kau berpotensi membuatku mati tersedak?”, tanyanya kejam sambil menatapku kesal.
Aku mendesah kesal, meraup cincin itu, membersihkannya dengan serbet, lalu berlutut di dekatnya
“Becca, maukah kau menikah denganku?”
Wajah cantik Becca terlihat kaget. Tentu saja. Siapapun pasti kaget. Aku tahu, sebentar lagi Becca akan menangis terharu. Semua wanita pasti akan menangis. Apalagi wanita berambut merah yang emosinya memang meledak-ledak.

Namun reaksi Becca tak seperti yang kuduga. Wajahnya kemudian tanpa ekspresi. Setelah sekian menit berlalu tanpa ada suara, sunyi senyap. Tak ada jeritan heboh. Tak ada suara menangis tersedu-sedu. Atau apapun. Tak ada. Semestinya semua wanita akan melakukannya. Semua wanita mengharapkan makan malam romantis yang berujung pada sebuah lamaran. Iya kan?
Becca lalu menggelengkan kepalanya pelan dan bergumam, “Aku tak bisa. Maafkan aku, Nick.”
Rasanya bumi menyedotku ke dalam. Aku merasa sangat jatuh. Aku tak mengerti. Kenapa? “Kukira kita saling mencintai, Becca. Kita pasangan yang serasi.”
“Tidak, Nick. Kau mencintaiku. Dan aku juga…atau setidaknya dulu begitu. Perasaanku sudah lama menghilang.”

Perasaan shock itu digantikan oleh amarah. Aku berdiri kemudian membanting gelas wine ke tembok. Gelas malang itu pecah dengan suara berdentang. Becca terpekik kaget, lalu ikut-ikutan berdiri.
“Ini! Ini dia penyebabnya! Kau semestinya berkaca pada dirimu sendiri, Nick! Kau terlalu emosional! Terlalu mudah marah! Sangat sulit membuatmu tetap senang dan tenang! Dan kau terlalu posesif! Terlalu mengekangku! Terlalu mengaturku! Aku tak bisa bernafas! Rasanya sesak, dengan kau ada disekitarku. Aku lelah bersamamu.” Becca mulai terisak pelan.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu, Becca!!”, teriakku frustasi sambil menutup wajah.
“Tapi ada seseorang…”
Ini dia! Selalu ada orang lain! Selalu ada! Omongan tentang sisi emosionalku dan terlalu protektif itu hanya omong kosong untuk membuatku merasa bersalah!
“…Dia memang jauh lebih tua. Tapi dia lembut, bijaksana. Dia mengingatkanku dengan ayahku. Kau tahu betapa aku sangat merindukan ayahku. Dan Anthony ada disaat kau…”
“Anthony, katamu?” Mataku melebar. Tubuhku terasa panas mendengar nama itu.
“Ya! Dan jangan coba-coba menyalahkanku! Kau tak pernah bercerita mengenai keluargamu sebelumnya. Aku baru tahu kemarin, ketika dia bercerita padaku. Kau tak tahu betapa….”
Aku memotong ucapannya dengan menamparnya keras, hingga ia terlempar ke seberang ruangan. Becca mengaduh kesakitan. Tapi ketika dia balas menatapku, matanya bersinar penuh tekad. Dia menyentuh wajahnya, mengernyit kesakitan, lalu tertawa menghina, “Anthony membelikanku cincin Harry Winston seharga lima puluh lima ribu dolar. Kau tak ada apa-apanya dibandingkan ayahmu, Nick. Dia lebih hebat dalam hal apapun, dibandingkan dengan dirimu.”

Cukup sudah! Aku meraih botol Chianti dari atas meja dan kuhantamkan ke kepalanya. Terdengar bunyi hantaman kaca yang nyaring dan memekakkan telinga. Becca tersungkur jatuh. Namun aku tak berhenti. Aku mencabut pisau dari tempatnya di dapur bersih. Dan aku menghujamkannya ke tubuh dan wajah Becca. Ke wajah cantiknya. Ke tubuh indahnya. Biar tak ada seorangpun, bahkan ayahku, yang akan menyukainya lagi. Berani-beraninya dia membandingkanku dengan ayahku! Aku bukan bajingan sepertinya! Aku tak pernah menyakiti wanita seperti dia menyakiti ibuku! Aku ini orang baik! Aku orang baik! Dan akan kuperlihatkan padanya bahwa hanya aku yang mencintainya dalam keadaan apapun. Dia milikku. Becca adalah milikku

Setelah rasa adrenalin itu memudar, aku berdiri dan menjauh. Mengamati tubuhnya yang bagaikan seonggok kain, lemas dan tak berdaya. Apa yang kulihat mengejutkanku. Bagiku dia terlihat begitu cantik. Begitu tidak manusiawi. Bagaikan dewi. Tubuh dan wajahnya penuh luka tusukan. Dan dari luka itu mengalir deras darah, yang juga membanjiri lantai dalam kubangan berwarna gelap. Senada dengan warna rambutnya. Indah. Cantik. Becca-ku.

Dengan terhuyung aku berjalan lemas ke kamar mandi. Tanganku gemetaran. Apa yang telah aku lakukan? Aku pasti sudah sinting, menganggap mayat Becca cantik. Aku bahkan telah membunuhnya! Dadaku sesak menahan tangis. Tapi toh aku tak menyesal. Tangis ini bukan penyesalan. Tak ada yang bisa disesali lagi. Ini adalah bentuk rasa takutku yang membuncah. Aku takut pada diriku sendiri. Aku menangis tanpa suara.
Setelah puas menangis, aku menyalakan air di wastafel kemudian mencuci tanganku sambil menatap kosong ke arah air mengalir yang berwarna merah. Cantik sekali. Darah Becca… Ya Tuhan, apa aku sudah gila? Menganggap darah Becca indah?

Setelah tanganku bersih, aku mencuci wajahku. Aku bisa merasakan ada percikan darahnya terkena wajahku. Baunya amis, seperti bau karat, namun masih tersisa wangi parfum Becca. Kemudian ketika aku menatap pantulan wajahku di cermin, aku tersentak. Sinar mataku saat itu sama persis dengan sinar mata seseorang yang kulihat beberapa hari yang lalu. Aku tersenyum lebar. Kemudian tertawa histeris. Mengerti dengan jelas apa yang kulihat pada Topher kemarin. Dan aku tahu persis apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Aku meraih ponselku dan menghubungi nomor yang tertera di kartu nama. Ketika mendengar suara dari ujung sana, aku berkata pelan, “Aku akhirnya mengerti. Rasanya seperti terlahir kembali. Kau mau membantuku kan, Topher?”

~~~~

Makassar, 18 Juli 2012
@tyazism

~~~

Tambahan :

* Ada ciri khas dalam penyajian full-course dalam masakan Italia. Dimulai dengan Antipasto atau appetizer, biasanya berupa bruschetta atau salad yang dinikmati dengan Aperitivo, biasanya adalah white/red wine. Kemudian dilanjutkan dengan Primo atau first ncourse, biasanya berupa pasta, risotto, gnocchi, atau sup. Setelahnya ada Sencondo atau second course. Secondo berbentuk protein seperti ikan atau daging. Ada pula Contorno, yang merupakan hidangan pendamping Secondo, biasanya adalah salad atau sayuran yang dimasak. Kemudian Formaggio e frutta atau “cheese and fruit” sebagai dessert pertama. Terakhir adalah Dolce yang berarti ‘manis’, hidangan penutup seperti Tiramisu, biscotti, bread pudding, atau yang lainnya, dan dinikmati bersama kopi. (Sumber : Wikipedia )
* Savoiardi adalah sebutan italia untuk biskuit lady finger/lidah kucing. Salah satu bahan utama Tiramisu.
* Caro berarti ‘dear”, panggilan sayang dalam bahasa Italia.
*Costoletta di Vitello adalah hidangan berupa potongan daging anak sapi panggang dengan jamur dan bawang cippolini.
*Quaglie Arrosto adalah hidangan berupa bacon khas Italia yang dibungkus dengan daging burung puyuh dan dipanggang menggunakan kayu dalam tungku api dan dihidangkan bersama puree parsnip, anggur panggang, dan watercress.
*Dua hidangan yang disebutkan adalah benar menu di restoran italia Coco Pazzo, Chicago

0 komentar: